A.
Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan
memiliki keberagaman suku,agama,ras,budaya dan bahasa daerah. Indonesia
meliliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki
kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.asuku bangsa
merupakan bagian dari suatu negara. Dalam setiap suku bangsa terdapat
kebudayaan yang berbeda-beda.selain itu masing-masing suku bangsa juga memiliki
norma sosial yang mengikat masyarakat di dalamnya agar ta’at dan melakukan
segala yang tertera didalamnya. Setiap suku bangsa di indonesia memiliki
norma-norma sosial yang berbeda-beda.
Dalam hal cara pandang terhadap suatu masalah atau tingkah
laku memiliki perbedaan. Ketika terjadi pertentangan antar individu atau
masyarakat yang berlatar belakang suku bangsa yang berbeda,mereka akan
mengelompok menurut asal-usul daerah dan suku bangsanya (primodialisme). Itu
menyebabkan pertentangan\ketidakseimbangan dalam suatu
negara(disintegrasi).Secara umum, kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya
ditandai oleh perbedaan-perbedaan horisontal, seperti yang lazim kita jumpai
pada perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun, juga
terdapat perbedaan vertikal, berupa capaian yang diperoleh melalui prestasi
(achievement). Indikasi perbedaan-perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial
ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi
permukiman.
Sedangkan perbedaan horisontal diterima sebagai warisan,
yang diketahui kemudian bukan faktor utama dalam insiden kerusuhan sosial yang
melibatkan antarsuku. Suku tertentu bukan dilahirkan untuk memusuhi suku
lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran mana pun di
Indonesia yang secara absolut menanamkan konflik etnis.
Konflik selalu diasosiasikan dengan keadaan emosional yang
tidak menyenangkan. Seperti halnya dengan kecemasan atau marah. Bila seseorang
melakukan penanggulangan, ia membuat respon sedemikan rupa sehingga dia dapat
menghindarkan diri, lari atau memerangi rasa tidak enak tadi atau menangani
masalah khusus tersebut.
Individu, kelompok individu atau suku yang sedang
berkonflik dapat dilihat dari gejala-gejala yang ditunjukan. Adapun
gejala-gejala konflik menurut Kusnadi dan Bambang Loayudi (200 : 36-8) adalah :
1.
Adanya
komunikasi lemas
2.
Adanya
permasalahan atau iri
3.
Adanya
friksi antar pribadi
4.
Eskalasi
Arbitrasi
5.
Adanya
moral yang rendah
Gejala-gejala yang ditemukan di SDN 001 Kecamatan Ukui
siswa yang berasal dari etnis Jawa dan etnis Minang tahun pelajaran 2012-2013.
1.
Adanya
sebagian siswa yang kurang mampu menghindari atas sesuatu pertentangan di dalam
etnis
2.
Adanya
sebagian siswa yang selalu memaksakan kehendaknya.
3.
Adanya
sebagian siswa yang kurang mampu dalam menjalin kerja sama dengan orang lain
dalam menghindari berbagai pertentangan dalam pencapaian tugasnya.
Dari berbagai gejala tersebut penulis menduga bahwa
kemampuan menyelesaikan konflik di SDN 001 Kecamatan Ukui masih tergolong
rendah, oleh sebab itu dilakukan penelitian dengan judul “ KEMAMPUAN
MENYELESAIKAN KONFLIK SISWA KELAS V
ETNIS JAWA DAN ETNIS MINANG PADA SDN 001 UKUI KECAMATAN UKUI TAHUN PELAJARAN
2012-2013”
1.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
gambaran kemampuan siswa berasal dari etnis Jawa dalam menyelesaikan konflik
pada aspek :
1.
Memaksakan
2.
Mengakomodasi
3.
Mengkompromikan
4,
Kolaborasi
b.
Bagaimana
gambaran kemampuan siswa berasal dari etnis Minang dalam menyelesaikan konflik
pada aspek :
1.
memaksakan
2.
Mengakomodasi
3. Mengkompromikan
4.
Kolaborasi
2.
Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan penelitian ini :
a.
Kemampuan
menyelesaikan konflik siswa kelas V etnis Jawa
b.
Untuk
mengetahui gambaran kemampuan menyelesaikan konflik siswa kelas V etnis Minang
c.
Adakah
perbedaan pada aspek :
1.
Memaksakan
2.
Mengakomodasikan
3.
Mengkompromi
4.
Kolaborasi
3.
Manfaat Penelitian
a.
Untuk
Sekolah : Sebagai bantuan untuk menyusun program yang berguna untuk sekolah
b.
Untuk
guru : Sebagai acuan untuk mengetahui konflik etnis jawa dan etnis minang.
c.
Untuk
Konsuler : Memberikan layanan yang sesuai kepada siswa yang mempunyai konflik
d.
Untuk
Siswa : Mengetahui, memahami kemampuan diri.
4.
Definisi Operasional
a.
Pengertian
Etnis
Menurut Ensiklopedi Indonesia Etnis berarti kelompok sosial dalam
sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu
karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu
kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik
yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
b.
Etnis
Jawa
Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang
Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia
yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [1]
Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung,
Banten,
Jakarta, dan Sumatera Utara.
Di Jawa Barat
mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon.
Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger
c.
Etnis
Minang
Suku Minangkabau atau Minang adalah suku yang berasal dari
Provinsi Sumatera Barat. Suku ini terkenal karena adatnya yang matrilineal,
walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam. Adat basandi syara’,
syara’ basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur’an)
merupakan cerminan Adat Minangkabau yang berlandaskan Islam
d.
Pengertian
Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya
e.
Kemampuan
Menurut Mohammda Zain dalam Milman Yusdi
(2010:10)mengartikan bahwa Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kakuatan
kita berusaha dengan diri sendiri. Sedangkan Anggiat M.Sinaga dan Sri Hadiati
(2001:34) mendefenisikan kemampuan sebagai suatu dasar seseorang yang dengan
sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan secara efektif atau sangat
berhasil.
Sementara itu, Robbin (2007:57) kemampuan berarti kapasitas
seseorang individu unutk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. lebih
lanjut Robbin menyatakan bahwa kemampuan (ability) adalah sebuah penilaian
terkini atas apa yang dapat dilakukan seseorang.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
kemampuan (Ability)adalah kecakapan atau potensi seseorang individu untuk
menguasai keahlian dalam melakukan atau mengerrjakan beragam tugas dalam suatu
pekerjaan atau suatu penilaian atas tindakan seseorang. pada dasarnya kemampuan
terdiri atas dua kelompok faktor (Robbin,2007:57) yaitu:
1.
kemampuan intelektual
(intelectual ability) yaitu kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai
aktifitas mental-berfikir, menalar dan memecahkan masalah.
2.
kemampuan fisik (physical
ability) yaitu kemampuan melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina,
keterampilan, kekuatan, dan karakteristik serupa.
B.
Landasan Teori
1.
Etnis/Suku
Menurut Asri Budi Ningsih (2004 :
18) mengemukakan siswa atau remaja yang tinggal di suatu daerah tertentu akan
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan remaja daerah lain.
Untuk mengetahui karakteristik
remaja disuatu daerah tertentu terlebih dahulu mengetahui karakteristik suku
masyarakatnya
2.
Karakteristik
Etnis Jawa
a.
Tradisi
Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam di
negara Indonesia. Sebagai buktinya,kemana pun Anda melangkah kan kaki ke bagian
pelosok penjuru negeri ini, Anda pasti akan menemukan suku-sukuJawa yang
mendiami kawasan tersebut meskipun terkadang jumlahnya minorotas.Suku Jawa
hampir menyebar merata di seluruh pelosok tanah air. Tak hanya karena keragaman
budayaJawa yang cukup menjadi icon bangsaIndonesia pada tingkat budaya
nasional, namun juga keramahtamahankhas suku ini juga menjadi kesan yang cukup
mendalam di hati para wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia.Mengenal
lebih dekat karakter dan sikap yang khas dari masyarakat Jawa merupakan salah
satu cara cepat Anda memahami adat istiadat dan kebudayaan salah satu budaya
daerah yang menjadi cikal bakal lahirnyakebudayaan nasional.Pengetahuan Anda
tentang karakter dan adat istiadat yang khas dari sebuah suku bangsa,
akanmemudahkan Anda bergaul dan berinteraksi dengan suku-suku tersebut, di
samping juga akanmeningkatkanpengetahuan Anda tentu budaya dan adat istiadat.
Mempelajari budaya berarti ikut serta dalammenjaga kelestarian kebudayaan
daerah tersebut. Apa pentingnya sebuah budaya bagi bangsa? Budaya ibarat
simbol yang sekilas menjadi icon pengenalsebuah bangsa. Sebut saja misalnya
suku Jawa telah memberikan salah satu andil icon keramahtamahan Indonesiadi
mata dunia internasional, maka dunia internasional akan mengenal Indonesia
secara keseluruhan sebagai sebuahnegara yang ramah taman. Demikian juga
budaya-budaya dari suku bangsa lain yang disumbangkan akan menjadiicon pengenal
bangsa Indonesia di mata dunia internasional.
b.
Karakter Tradisi Suku Jawa
Bagi Anda yang ingin mengenal karakter suku Jawa secara
lebih dekat, berikut ini diantara karkter tersebut;1. Suku Jawa diidentikkan
dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak
sukalangsung-langsung, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan
bahasa perkataanmaupun objek yang diajak berbicara. Bahasa Jawa adalah bahasa
berstrata, memiliki berbagai tingkatanyang disesuaikan dengan objek yang diajak
bicara.Suku Jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik
keinginan hati demisebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya
saat bertamu dan disuguhi hidangan. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa
adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikapsungkan
mampu melawan kehendak ataukeinginan hati.Jika Anda berteman dengan orang Jawa,
jangan sedih bila apa yang Anda sajikan hanya dimakansedikit atau mungkin tidak
dicicipi sama sekali. Sebab itu terkadang merupakan bagian dari naluri
kesukuanyang melekat pada diri rekan Anda.2. Soal etika, suku Jawa memang
sangat menjunjung tinggi persoalan yang satu ini. Baik secara sikap
maupunberbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya
menggunakanbahasa Jawa halus yangterkesan lebih sopan.Berbeda dengan bahasa
yang digunakan untuk rekan sebaya maupun yang usianya di bawah.Demikian juga
dengan sikap, orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap
etika yangbaik terhadap orang yang usianya lebih tua dari dirinya.3. Suku Jawa
itu sendiri terdiri dari berbagai macam jenis tergantung pada lokasi daerah
mereka berdiam.Biasanya secara lebih khusus lagi, setiap suku Jawa tersebut
memiliki ragam kebudayaan yang lebih khaslagi, baik soal bahasa, adat
kebiasaan, makanan khas dan sebagainya.Berkeliling ke Pulau Jawa akan membuat
Anda tahu dan kayapengetahuan tentang karakter khas tiapsuku Jawa yang mendiami
daerah tertentu
3.
karakteristik
Etnis Minang
a.
Sistem Adat
Semenjak zaman kerajaan Pagaruyung, ada tiga sistem adat
yang dianut oleh suku Minangkabau yaitu :
1. Sistem Kelarasan Koto Piliang
2.
Sistem Kelarasan Bodi Caniago
3.
Sistem Kelarasan Panjang
Dalam pola pewarisan adat
dan harta, suku Minang menganut pola matrilineal
yang mana hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat dunia yang
menganut pola patrilineal. Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal
dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam
yang menjadi anutan orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang,
dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi
merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta
pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh
berdasarkan hukum Islam.
Minang atau Minangkabau adalah kelompok etnik Nusantara yang
berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya
meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian
barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri
Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan
sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu
kota Padang. Namun masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan
sebutan Urang Awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari
suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut
sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur
perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran
agama Islam. Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut
matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan
sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk
menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau
tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara’, syara’ basandi
Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an) yang berarti
adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai
profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi
tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir
separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang
perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung,
Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia,
etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.
Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan
sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai
mancanegara.
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, Minang dan kabau. Nama itu
dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal didalam tambo. Dari
tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa
ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan.
Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu
kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang
besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau
yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau
yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak
kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik
perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat
setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan ‘Manang kabau’
(artinya menang kerbau). Nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah
nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang,
kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Sedangkan nama “Minang” (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah
disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 682 Masehi dan berbahasa
Sansekerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang
bernama Dapunta Hyang bertolak dari “Minānga” …. Beberapa ahli yang merujuk
dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (…minānga) dan ke-5
(tāmvan….) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan
diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga
menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai
Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis,
yang membuktikan bahwa “tāmvan” tidak ada hubungannya dengan “temu”, karena
kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman
Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan
identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu
(Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau
Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat
ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai
ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau.
Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal
dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo,
yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Datar.
Kemudian seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau
terus menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan
tertentu menjadi kawasan rantau.
Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa
nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo
tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding
fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik
masyarakat banyak.
Adat dan budaya Minangkabau bercorakkan keibuan (matrilineal),
dimana pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan.
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara,
Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk Perpatih mewariskan
sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan
mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua
sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk
sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan
menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik
pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin.
Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya.
Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan
masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa
Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau
dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini
sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan
bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini
merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang
menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu.
Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga
sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari
organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental.
Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat,
sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat
dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang
mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang,
diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari
satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari
unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta,
dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta
pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota
kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat
menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk
melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga
yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat
digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih
kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah
sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah
rumah gadang secara bersama-sama.
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini
merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada
kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah
nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang
berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku
dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan
Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah
keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau
adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan
individu untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala
kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari
kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling
tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam
istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari
Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari,
Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang
dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang
menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi
Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku
yang mendomisili kawasan tersebut.
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala
kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua
permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih diantara
anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang
laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki
posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung Jawab mengurusi semua harta
pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat
nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam
rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai
sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan
konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi
kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang
semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya
kepada keluarga lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya
jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari,
merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha
sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya
sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan
mencari kekayaan untuk “membeli” gelar penghulunya yang telah lama terbenam.
Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan
penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.
Dalam laporan de Stuers kepada pemerintah Hindia-Belanda,
dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu
kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah
nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani
kuno. Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau,
serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada
dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau
Sumatra dan bahkan sampai semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di
wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan
Kerajaan Inderapura.
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang
hidup di luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Merantau merupakan proses
interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan
sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung
halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki
tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di
Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi
merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu
agama.
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan
tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar
masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk
mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan
dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu
di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan
sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha
keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali
pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para
perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari,
seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.
Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab
itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam
berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis,
ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang
relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu
suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun
2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan
orang Minang. 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika
berada di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah
di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Di
tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina selatan. Pada
abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan
mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Raja Melewar
merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun 1773. Di akhir
abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang, dan Dato Ri
Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa.
Setelah gagal merebut tahta Kesultanan Johor, pada tahun 1723 putra Pagaruyung
yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I mendirikan Kerajaan Siak di
daratan Riau.
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah
memengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera
Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperan dalam
proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan
Djamaluddin Tamin.
Pada periode 1920 – 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh
lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan
Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis Internasional
untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi
pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di
dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain
Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Mohammad
Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat
orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta,
Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang
sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen
(Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup
terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi
orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu
dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap
kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi
liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung
kedalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan
sosialis.
4.
Perbedaan Suku Minang dan Suku Jawa
Ternyata dari Suku Jawa dan Suku Minangkabau itu sangat berbeda.
Karena dari dua suku itu memiliki berbagai ciri khas yang berbeda seperti
contoh suku Jawa memiliki sifat yang lembah lembut, dan tetapi suku mingkabau
memiliki sifat yang keras. Dan ternyata Negara kita Indonesia memiliki berbagai
macam kesenian dan bahasa yang beragam. Maka dari itu kita sebagai warga Negara
Indonesia harus menjaga kebudayaan dan kesenian dengan baik. Agar tidak
tercemari dengan tangan-tangan kotor orang luar negeri. Dan agar anak cucu kita
kelak dapat merasakan kebudayaan Indonesia yang asli tanpa campur tangan Negara
lain.“Walaupun kita berbeda-beda tapi tetap satu jua”.
5. Pengertian Konflik
Konflik menurut Daniel Webster (2001: 1) mendefinisikan konflik
sebagaiberikut yaitu :
1.
Persaingan atau pertentangan antara
pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain
2.
Keadaan atau perilaku yang
bertentangan (misalpertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan
individu)
3.
Perselisihanakibat kebutuhan,
dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan
4.
Perseteruan
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama
manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu diwarnai dua hal,
yaitu konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik merupakan bagian dari kehidupan
manusia.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya. Konflik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai
percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Menurut Kartono & Gulo (1987),
konflik berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi dan tindakan dengan
orang lain. Keadaan mental merupakan hasil impuls-impuls, hasrat-hasrat,
keinginan-keinginan dan sebagainya yang saling bertentangan, namun bekerja
dalam saat yang bersamaan. Konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu
bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di
antara dua pihak atau lebih.
C.
Prosedur Penelitian
1.
Asumsi
a.
Asumsi
1.
Kemampuan
menyesuaikan konflik etnis Jawa tidak sama
2.
Kemampuan
menyelesaikan konflik dapat di indentifikasi dan di ukur indikator –
indikatornya.
3.
Kemampuan
menyelesaikan konfllik etnis Minang tidak sama
4.
Supaya
siswa memberi kemampuan untuk menyelesaikan konflik.
2.
Populasi dan Sampel
a.
Populasi
Pengertian
populasi menurut ahli adapun populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V
etnis Jawa dan Minang di SDN 001 Ukui.
b.
Sampel
Pengerrtian
sampel menurut ahli adalah seluruh anggota populasi menjadi sampel penelitian
ini.
3.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif survai yaitu penelitian yang bertujuan untuk
memperoleh gambaran-gambaran empiris mengenai keadaan yang sedang berlangsung
tentang kemampuan menyelesakan konflik siswa kelas V etnis Jawa dan etnis Minang
pada SDN 001 Ukui kecamatan Ukui Tahun 2012-2013
4.
Data dan Alat Pengumpulan Data
a.
Data
1.
Data
adalah data yang akan di kumpulkan dalam penelitian ini terdiri kemampuan
menyesuaikan konflik siswa kelas V etnis Jawa
2.
Masalah
kemampuan menyelesaikan konflik siswa kelas V etnis Minang.
b.
Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data tentang kemampuan menyelesaikan
konflik siswa digunakan angket, angket yang diberikan kepada siswa berguna
untuk mengetahui data tentang kemampuan siswa menyelesaikan konflik etnis Jawa
dan etnis Minang pada siswa kelas V SDN 001 Ukui kecamatan Ukui dengan membuat
daftar pernyataan agar data yang dicapai dapat akurat dan tepat.
5.
Tekhnik Analisa Data
Untuk
menganalisa data yang diperoleh dari penelitian digunakan
1.
Tekhnik
Persentase (Anas Sudijono, 2003)
Keterangan
:
P =
Persentase
F =
Frekuensi
N = Jumlah
Sampel
Tabel
2
Kisi-Kisi
kemampuan Menyelesaikan Konflik
No
|
Indikator
|
Item
|
Jumlah
|
1
|
Kolaborasi
|
1,2,3,4
|
4 Soal
|
2
|
Mengkompromi
|
5,6,7,8
|
4 Soal
|
3
|
Mengkomodasi
|
9,10,11,12
|
4 Soal
|
4
|
Memaksakan/dominasi
|
13,14,15,16
|
4 Soal
|
JUMLAH
|
16 Soal
|
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan
FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Jilid II, Bandung : PT. Imperial
Bhakti Utama, 2007
Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A.
Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam
perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. hlm. 21. ISBN
979-690-360-1
Hamka (Agustus 1985). Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta:
Pustaka Panjimas. hlm. 23.
de Jong, P.E
de Josselin (21 Februari 1960). Minangkabau and Negeri Sembilan:
Socio-Political structure in Indonesia. Djakarta: Bhartara. hlm. 10.
.
No comments:
Post a Comment