BAB I
PENDAHULUA
A. Latar Belakang
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat
Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh
ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi. Melalui karya-karyanya yang tersebar
di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji,
nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat
memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim
karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid,
fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan
mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada
di bawah naungan NU.
K.H
Nawawi sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran
kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K.H Nawawii mau tiak mau bisa
dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan
pesantren, terutama di Jawa
Sebulum
memmasuki medan pembahasan pokok masalah yang berkaitan dengan konsep
pendidikan dalam perspektif K.H. Nawawi. Yang perlu untuk mengajukan beberapa
kenyataan atau gejala umum yang dapat di kenakan kepadanya, sebagaimana yang di
kemukakan oleh para pengulas filsafat selama ini.
Meskipun
tidak lengkap, sebanding dengan keterbatasan kepustakaan yang kami baca dan
tersedia, akan kami coba mangajuakan konsep Pemikiran Pendidikan Islam oleh
K.H. Nawawi. Di
kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama
penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar).
K.H Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan
batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut
banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang
sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan ini
penulis akan membahas tentang :
1. Bagaimana Riwayat
kehidupan K.H. Nawawi ?
2. Bagaimana Pemikiran
K. H. Nawawi tentang Pendidikan ?
3. Apasajakah karya-karya K. H. Hasyim Asy’ari ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah antara lain :
1. Untuk mengetahui secara
detail Riwayat kehidupan K.H. Nawawi.
2. Untuk mengetahui konsep
pemikiran pendidikan K.H. Nawawi.
3. Untuk mengetahui
Karya-karya K. H. Nwawi.
D. Manfaat
Dengan
adanya pembahasan dan pemaparan makalah tentang konsep pendidikan dalam
perspektif K.H. Nawawi, maka kita bisa mengetahui bagaimana konsep
pendidikannya, dan dapat menambah wawasan dari berbagai organisasi yang beliau
dirikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Singkat KH. Nawawi Al-Bantani (1813-1897)
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah
ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara,
Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan
tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan
di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama
Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). [1]
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau
adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang
diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan
setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil
karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu
menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di
Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur
Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa
Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama
adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush
Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam
Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari
ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang
berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang
etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah
menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz
Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam).
Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah
bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan
judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya
beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab
Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat
terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun
yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH
Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di
Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.[2]
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah
kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam,
padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun
tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila
kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada
Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki
beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah
itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat
Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau
tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah
beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang
belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim
di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh
Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur.
Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam
beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi
rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.[3]
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan
klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan
secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola
pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di
Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan
pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini
dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik
pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
a.
Guru-guru KH.
Nawawi
Di Mekah Syeikh Nawawi al-Bantani belajar kepada beberapa
ulama terkenal pada zaman itu, di antara mereka yang dapat dicatat adalah
sebagai berikut: Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dimyati, Syeikh
Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah
al-Maliki, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh
Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh
Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani,
Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman
al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani
dan lain-lain.
b.
Murid-murid
KH. Nawawi
Syeikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram
menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan
kitab-kitab bahasa Arab.
Murid-muridnya yang berasal-dari Nusantara banyak sekali
yang kemudian menjadi ulama terkenal. Di antara mereka ialah, Kiai Haji Hasyim
Asy’ari Tebuireng, Jawa Timur; Kiai Haji Raden Asnawi Kudus, Jawa Tengah; Kiai
Haji Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, Banten; Syeikh Muhammad Zainuddin bin
Badawi as-Sumbawi (Sumba, Nusa Tenggara); Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab
as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan lain-lain. Tok
Kelaba al-Fathani juga mengaku menerima satu amalan wirid dari Syeikh Abdul
Qadir bin Mustafa al-Fathani yang diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani.
Salah seorang cucunya, yang mendapat pendidikan
sepenuhnya dari nawawi al-Bantani adalah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan
al-Jawi al-Bantani (1285 H./1868 M.- 1324 H./1906 M.). Banyak pula murid Syeikh
Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon
melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang
dianggap sebagai pemimpin perlawanan Perjuangan di Cilegon ialah Haji Wasit,
Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib
dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama pejuang bangsa ini adalah murid Syeikh
Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah.
B. Pemikiran Tokoh
Untuk Pengembangan Intelektual Pesantren
Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia
bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki
konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan
seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat
dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang
penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan
pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al
Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin alGazali.
Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya
(pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang
memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan pengembangan
spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau
tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru2nya. Ketasawufan
beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktek
tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari
keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat
dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh
dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan
tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara
hakikat adalah basil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan
bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat
tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam,
syariat.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat
Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai
kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari
pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat
diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga
mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses
dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid
diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja
tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.
Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab).
Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat
terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin
semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya
tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana
keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam
laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap
kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti
dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di
bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang
bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang
di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat
berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan
bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan
bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh
Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji
dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-Iembaga pondok
tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di
sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray
Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of
Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih
menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di
Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya
Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di
Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah
meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang
tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi
kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990
diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari
100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di
pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi.
Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran
murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional
Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam
perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng
Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari
Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan
putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk,
Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah
bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang
Banten, K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H
Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus
Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat.
Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah
nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di
Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi
pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan
munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas
ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana
tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren
yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh
ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren. Mereka
adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim
Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim
Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.
Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia
banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang
menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng
penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan
wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat
ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf
di sisi lain. Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam
melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat
alGazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang
menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di
sisi lain.
C. Pemikiran Tokoh Untuk Peningkatan Peran Pesantren Sebagai
Agen of Change
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran
pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh
kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi,
bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali
bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang
ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang
penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan
Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi
pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam
bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan
Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak
memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa
Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act),
karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin.
Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak
adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib
tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada
Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah
Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan
teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya
harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan.
Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan
terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql.
Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf
diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang
Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary
lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di
tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah
wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini
tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua
perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya
manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks
Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan
kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir
kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan
konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem
teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena
kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada
satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan
Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam
kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan
lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah
umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan
Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan
Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat
menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa
kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial
Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu
dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan
pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh
Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya
seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi
Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil
memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi
yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi
luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah
diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya.
Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya
untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik
untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya
yang telah banyak tersebar di Mesir.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak
porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru
menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan
tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih
Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim
al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia
lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat
dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu
lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus
(belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh
melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadah
sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid
diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu
lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi
Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata
tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan,
sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu
lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan
dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana
keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam
laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap
kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam
catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang
Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat
epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas
tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh:
Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang
tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang
Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai
Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis. Sebenarnya
karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh
pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di
Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah
agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand.
Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut
Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di
Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu
Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan
di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan
di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van
Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok
Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya
Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan
penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih
dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya
yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di
antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran
murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional
Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam
perjuangan nasional.
Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri
organisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur,
KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH.
Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH.
Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari
Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung
Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa,
Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya
di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini
memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat
pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama.
Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain
seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut
mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah
sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah.
Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain
terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak
dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah
dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat
mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai
para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar
sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi
keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari memiliki
semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat
pengaruh pemikiran Nawawi.
Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia
banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang
menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran
ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana
sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks
di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi
lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam
melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat
al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang
menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di
sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan
intelektual dari generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk
dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang
berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi,
para ulama pesantren membentuk sebuah komite yang disebut dengan “komite Hijaz”
yang terdiri dari 11 ulama pesantren.
Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai produk
perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi
yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan
peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam
perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di
dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis secara intens organisasi
ini kemudian mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi
Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi
merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan
NU. Sebab karakteristik pola pemikirannya merupakan representasi kecenderungan
pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi
dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman
penggusuran intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik.
Karenanya formulasi manhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi
(diuraikan kembali) oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak
tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila
disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus
pemikiran KH. Nawawi Banten.
D. Memadukan Pendidikan Formal dan Salafiyah
NAMA pondok pesantren (ponpes) An-Nawawi sudah tersohor,
baik di Kabupaten Purworejo, Tengah dan bahkan sampai nasional. Setidaknya
itu dibuktikan dengan keberadaan para santri yang bukan sekadar berasal dari
Purworejo saja, tapi juga berasal dari luar daerah, termasuk dari luar Jawa.
Pada tahun 1965, sewaktu kepemimpinan dipegang oleh KH
Nawawi bin KH Shiddieq bin KH Zarkasyi nama pondok pesantren diganti dengan
nama ”Roudlotut Thullab ” yang berarti Taman Pelajar atau Taman Siswa. Pada
7 Januari 1996 bertepatan dengan tanggal 16 Sya’ban 1416 H kembali diganti
menjadi ”An-Nawawi ”.
Sebagai tonggak sejarah pada masa KH Nawawi inilah, sistem
atau metode pengajaran dikenalkan kepada sistem madrasi atau dalam dunia
pendidikan modern dikenal dengan istilah klasikal. Selain itu, pada tahun
1981, dirintis pula pendirian Pondok Pesantren putri Al Fathimiyyah (sekarang,
Pondok Pesantren Putri An - Nawawi). Dengan kata lain, selama memimpin pondok
pesantren, KH. Nawawi telah berhasil merumuskan dasar pengembangan Pondok Pesantren
An-Nawawi.
E. Analisis
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd
al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal
dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung
Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314
H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia
dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi.
Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di
desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan
Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh
Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang
memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang
ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu
keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama
Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam
Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina
Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke
Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu
kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh.
Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan
khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya
mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya
langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang
dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai
pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke
Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang
terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas
(Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani
Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada
Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di
Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan
pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut
penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut
ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf
Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan
meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah
selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan
Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman
pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870
kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis
banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan
beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal
dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan
itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan
sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab
komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap
sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain,
Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering
mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi
dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu
dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya
mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa
karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir
dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang
mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori
salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat
gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam
al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid
‘Ulama al-Hijaz.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan KH. Nawawi dikalangan masyarakat dan organisasi Islam
tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang
pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya
di Banten. Karena
kemasyhurannya KH. Nawawi kemudian mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’
al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah
al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Peranan KH. Nawawi sangat besar
dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang
di Nusantara.
Dalam bidang organisasi
keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk
menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.
Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi
menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la
dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan
umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa
Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara
khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
B. Saran
Dari Pemaparan diatas kami selaku
pemakalah, meminta kepada para pembaca untuk bisa mentauladani semangat dalam
dunia pendidikan agama seperti yang dimilik K.H.Hasyim Asy’ari. Jangan sampai
kita menomor duakan kepentikan agama. Dan akhirnya kami selaku pemakalah untuk
sekedar berbagi Pengetahuan, jika terdapat kritik dan saran yang membangun
untuk kesempurnaan makalah ini kami terima dengan senang hati.
DAFTAR
PUSTAKA
Nurul Huda, Sekilas tentang: Kiai Muhammad Nawawi
al-Bantani, Alkisah, No.4, 14 September 2003 M, h. 2.
Ibid, hal : 7
Salmah, dkk, Perjalanan 3 Wanita, (Jakarta: Trans TV,
pukul 06:30-07:00), Selasa, 10 Juli 2007 M.
Kisah Wali, Alkisah, No.3, 02-15 februari 2004 M, h.
100.
Kiai Muhammad Syafi’i Hadzami, Majmu’ah Tsalâtsa Kutub
Mufîdah, (Jakarta, Maktabah al- Arba’in, 2006 M/1427 H), h. J.
No comments:
Post a Comment