BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kedatangan
Napoleon di Mesir pada 1798 merupakan momentum penting dari perkembangan Islam.
Kedatangan “penakluk dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata kaum muslim
akan apa yang dicapai oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi,
tetapi juga menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di
antaranya akibat kontak itu di lingkuangan elit muslim para penguasa dan
kalangan cendikiawan gerakan pembaharuan Islam kembali memperoleh gairah. Kaum
muslim semakin intensif dan bersemangat mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar
Islam khususnya dihadapkan pada kemajuan Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi
umum masyarakat Islam bermunculan, seruan berjihad semakin nyaring terdengar,
pandangan lama yang menganggap pintu ijtihad telah tertutup tidak hanya
digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai cermin dari keterbelakangan
intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas dari kalangan
pembaharu.[1]
Meskipun
kehadiran Barat telah memicu timbulnya respon dikalangan terpelajar muslim,
kontak dengan Barat bukanlah satu-satunya aktor yang menyebabkan munculnya
gerakan pembaruan dalam Islam. Di samping dalam batang tubuh doktrin doktrin
Islam pembaharuan (tajdîd) merupakan sesuatu yang intern, kondisi objektif umat
Islam sendiri yang secara umum ditandai oleh semakin memudarnya semangat
keilmuan, kebekuan (jumûd) dibidang intelektual, dan berkembang pesatnya
tradisi yang mendekati syirik, merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan
begitu saja. Faktor-faktor itu sekaligus juga merupakan tantangan kaum muslim,
tidak hanya dalam tataran intelektual tetapi juga pada tataran empiris, seperti
kekhalifahan yang berabad-abad bertahan dalam Islam mulai digugat.
Realitas sejarah
menunjukkan kelengahan umat Islam dalam memahami pergeseran ‘’agama yang benar”
kepada ‘’ortodoksi ideologi”. Akibatnya, ketika agama telah berubah menjadi
fiqh dogma-dogma teologi Asy’ari, umat Islam kehilangan kesempatan menatap
sisi-sisi negatif dikotomi itu. Kehadiran berbagai mazhab yang berseteru,
partai yang bersaing, kelompok-kelompok muslim yang berselisih dan
organisasi-organisasi sosial keagamaan yang tidak akur adalah manifestasi
dominasi fiqh yang menggerus akar kekuatan umat. Pertikaian pengikut Sunni dan
Syi’ah merupakan contoh menarik dalam konteks ini.
Ketika umat Islam
harus berhadapan dengan modernisasi negara-negara industri, daerah ‘’yang tak
terpikirkan” itu semakin melebar. Hegemoni dunia Barat yang terus berlanjut
tidak memperoleh respon antisipasif dari umat Islam. Karenanya, upaya kongkrit
menghentikan kesenjangan itu merupakan solusi terbaik bagi mereka jika Islam
sebagai agama yang membumi. Pemahaman, penghayatan dan pengalaman yang utuh
terhadap semua dimensi ajaran Islam adalah resep terbaik bagi kebangkitan agama
mereka .
Dalam konteks
sejarah, unsur positif posmodernisme barangkali dapat ditemukan pada tradisi
dan kehidupan Nabi yang mengedepankan massa dalam ajaran zaman. Negara Madinah,
seperti terungkap di muka, adalah cermin teladan bagi kehidupan manusia lain,
termasuk umat Islam pasca-nabi. Masa itu ditandai dengan kehidupan sosial,
politik dan ekonomi yang relatif makmur dan adil. Bahkan, kehidupan umat
beragama memperoleh porsi memadai dalam situasi kondusif bagi pengembangan
masing-masing agama.
Hal ini kemudian
menyebabkan banyak pemikir Islam dan hingga kini berusaha keras untuk
membuktikan bahwa Islam pun sejalan dengan perkembangan zaman itu. Mereka ingin
menunjukkan bahwa Islam tidak ketinggalan zaman. Suara-suara yang menggaungkan
isu tajdid (pembaharuan) terhadap Islam menggema di berbagai wilayah kaum
muslimin. Sayangnya, niat baik dan upaya keras ini seringkali justru
berdampak negatif. Tanpa disadari, upaya tajdid yang mereka lakukan justru
adalah “membaratkan Islam” dan bukan “mengislamkan nilai-nilai barat”.
Akibatnya, banyak nilai-nilai Islam yang bersifat prinsipil dinafikan, dan
dianggap “mengganggu” kemajuan peradaban modern harus dibuang. Ide-ide
seperti sekulerisme, liberalisme dan pluralisme yang marak belakangan ini
menurut hemat penulis tidak lebih merupakan bukti dampak turunan
atas hal itu.
Penulis menyebut
upaya tajdid semacam ini sebagai “tajdid yang tidak dilandasi oleh rasa ‘izzah
(kebanggaan) pada Islam”. Ini adalah tajdid yang berangkat dari perasaan minder
dan rendah diri pada Barat. Hal ini yang akan membedakan gerakan
pembaharuan dalam Islam yang terjadi di belahan dunia. Seorang tokoh
pembaharuan yang telah memiliki pandangan keislaman yang kuat akan mengaitkan
kemajuan modernisme Barat dengan ajaran Islam, sedangkan bagi tokoh pembaharuan
yang kurang memiliki pandangan Islam yang kuat akan menghasilkan pemikiran yang
berkiblat kepada Barat.
Akan tetapi
karena terlalu luasnya bahasan pembaharuan dalam Islam ini, pemakalah akan
membatasi pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir dan Turki dengan
mengedepankan pemikiran-pemikiran parta tokoh di kedua negara tersebut yang
terjadi pada abad ke-18 dan 19 yang berkaitan dengan segi pendidikan.[2]
Dikatakan sebagai tokoh pembaharuan karena pada masa itu merubah pemahaman dan
ajaran bahkan ideologi yang ada pada saat itu bukan merupakan hal yang mudah
dan gampang akan tetapi ibarat menghadapi tembok kuat yang harus dirobohkan.
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan ini penulis akan membahas tentang :
1. Bagaimana Riwayat kehidupan Napoleon Bonaparte ?
2. Bagaimana Pemikiran
Bonaparte dalam pembaharuan Islam di
Mesir?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah antara lain :
1. Untuk mengetahui secara detail Riwayat kehidupan Napoleon
Bonaparte..
2. Untuk mengetahui konsep pemikiran Napoleon Bonaparte
di mesir.
D. Manfaat
Dengan adanya pembahasan dan pemaparan
makalah tentang konsep Pembahruan Islam menurut Napoleon Bonaparte, kita bisa
mengetahui bagaimana konsep pendidikannya, dan dapat menambah wawasan dari
berbagai organisasi yang beliau dirikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembaharuan
dalam Islam
Secara etimologi,
kata ‘pembaruan’ dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah tajdîd,
memiliki makna antara lain; proses, cara, perbuatan membarui.[3]
Sedangkan menurut Harun Nasution pembaharuan merupakan arti dari
at-Tajdid dalam bahasa Arab sebagai perkembangan modernisme yang terjadi di
dunia Barat akibat perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga pembaharuan dapat dilihat dari
kata modernism. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti
pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat,
institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang
ditimbulkan oleh kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[4]
Dalam kamus
Oxford pembaharuan dikenal dengan istilah resurgence diartikan sebagai kegiatan
yang muncul kembali. Pengertian ini mengandung tiga hal:
1) Suatu pandangan dari dalam
”dimana suatu cara kaum muslimin melihat bertambahnya dampak agama
diantara para penganutnya. Sehingga keberadaan Islam disini menjadi penting
kembali. Dalam artian memperoleh kembali prestasi dan kehormatan dirinya”
2) Kebangkitan kembali”
menunjukan bahwa keadaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak Nabi dan para
pengikutnya dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikiran orang-orang
yang menaruh pada jalan hidup umat Islam.
3) Kebangkitan kembali
sebagai suatu konsep” mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu
ancaman terhadap pengikut pandangan-pandangan lain penjajahan bangsa barat atas
dunia Islam[5]
Kata yang lebih
dikenal dan lebih populer untuk pembaharuan ialah modernisasi. Dalam masyarakat
Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk
merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya
agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru
ditimbulkan pengetahuan modern. Pikiran dan aliran di periode itu disebut age
of reason atau englightenment ( Masa Akal atau Masa Terang ) 1650 – 1800
M.
Akan tetapi pada
perkembangan berikutnya, modernisme memiliki arti-arti negatif di samping
arti-arti positif, maka Harun Nasution lebih banyak memakai istilah
pembaharuan dalam Islam. Pembaharuan ini mulai terjadi di dunia
Islam pada abad 18 Masehi dan seterusnya akibat jatuhnya Mesir ke tangan
kekuasaan Napoleon dari Prancis yang mengakibatkan keinsyafan dunia Islam akan
kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa Barat telah timbul peradaban baru
yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Maka raja-raja dan pemuka
Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam
kembali dengan cara melakukan pembaharuan dalam Islam.[6]
Faham modernisasi
ini mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Barat dan segera memasuki
lapangan agama yang ada di Barat dipandang sebagai penghalang bagi kemajuan.
Modernisasi dalam hidup keagamaan di Barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan
ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu
pengetahuan dan filsafat modern. Aliran itu akhirnya membawa kepada sekularisme
di barat.
Sebagaimana
halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk
menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan jalan demikian
pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap dapat melepaskan umat Islam dari
suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.
Pembaharuan dalam
Islam mempunyai tujuan yang sama. Tetapi, perlu diingat bahwa dalam Islam ada
ajaran-ajaran yang bersifat mutlak yang tak dapat dirubah-rubah, yang dapat
dirubah hanyalah ajaran-ajaran yang tidak bersifat mutlak yaitu penafsiran atau
interpretasi dari ajaran-ajaran yang bersifat mutlak itu. Dengan kata lain
pembaharuan dapat dilakukan mengenai interpretasi atau penafsiran dalam
aspek-aspek teologi, hukum, politik dan mengenai lembaga-lembaga yang ada.
Pengertian ini
menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang
memang telah memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas. Sebab jika tidak, ke
arah mana tajdid itu akan dilakukan? Sesuatu yang pada dasarnya ajaran yang
batil dan semakin lama semakin batil, akan ditajdid menjadi apa? Itulah
sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya syariat samawiyah yang mungkin
mengalami tajdid. Sebab dasar pijakannya masih terjaga dengan sangat jelas
hingga saat ini, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai pijakan
tajdid dapat dilihat dari sebuah hadits Rasulullah saw yang
menegaskan tentang kemungkinan itu, beliau berkata : “Sesungguhnya Allah akan
mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang
akan melakukan tajdid terhadap agamanya” ( HR. Abu Daud, No. 3740 ).
Tajdid di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi
maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari
berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia
sepanjang zaman, memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan
Syariat Allah Ta’ala tentang hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan
baru) yang kontemporer.
Dengan demikian,
tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk: Pertama, memurnikan agama setelah
perjalanannya berabad-abad lamanya dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah, konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana
Rasulullah saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian
mereka. Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul
dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain.
Dari beberapa
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembaharuan Islam bukanlah sesuatu
yang evolutioner melainkan lebih cenderung devolusioner, dengan artian bahwa
pembaharuan bukan merupakan proses perkembangan bertahap dimana yang datang
kemudian lebih baik dari sebelumnya.
Pembaharuan dalam
Islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep asalnya
dipahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada
masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan
aslinya. Disini bukan perubahan yang terjadi, tetapi peragaman makna dan
penafsiran. Disamping itu, tajdid ini bisa berarti memperbaharui ingatan orang
yang telah melupakan ajaran agama Islam yang benar, dengan memberi penjelasan
dan argumentasi-argumentasi baru sehingga meyakinkan orang yang tadinya ragu
dan meluruskan kekeliruan atau kesalahpahaman mereka yang keliru dan salah
paham.
B. Pembaharuan Islam di Mesir
1. Latar Belakang Sejarah
Pembaharuan di Mesir
Latar belakang
sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir berada pada
kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibu kotanya merupakan awal
kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang menjadi kota dan
negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan
Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara tradisional telah
berakar di Mesir.
Kerajaan Romawi
Timur dengan ibu kota Bizantium merupakan rival berat pengembangan Islam yang
keberadaannya berlangsung sampai pada masa pemerintahan Kholifah Umar Bin
Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi Timur merupakan target
pengembangan misi keislaman dan akhirnya kekuatan militer Romawi tidak dapat
menghambat laju kemenangan Islam di Mesir, karena keberadaan Islam sebagai
agama baru memberikan keluasaan dan kebebasan untuk hidup, yang selama itu
tidak diperoleh dari pemerintahan Romawi Timur, termasuk didalamnya kondisi
yang labil karena berkembangnya konflik keagamaan.
Mesir
menjadi wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin
Khattab pada 640 M, Mesir ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang
kemudian ia dijadikan gubernur di sana. Kemudian diganti oleh Abdullah
Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut konflik yang menjadi salah satu
sebab terbunuhnya Usman ra. Mesir menjadi salah satu pusat peradaban
Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti
Fatimiah ( sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah
(567-648 H) yang terkenal dengan perang salib dan perjanjian ramalah mengenai
Palestina, dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki
Usmani.[7]
Segera setelah
Mesir menjadi salah satu bagian Islam, Mesir tumbuh dengan mengambil peranan
yang sangat sentral sebagaimana peran-peran sejarah kemanusiaan yang
dilakoninya pada masa yang lalu, misalnya :
a. Menjadi
sentral pengembangan Islam di wilayah Afrika, bahkan menjadi batu loncatan
pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar (Aljajair dan Tunisia).
b. Menjadi
kekuatan Islam di Afrika, kakuatan militer dan ekonomi.
c. Pengembangan
Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam pada masa Nabi Musa
yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian.
d. Menjadi
wilayah penentu dalam pergulatan perpolitikan umat Islam, termasuk di dalamnya
adalah peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat Bani Umaiyah
dengan tergusurnya Ali Bin Abi Thalib dalam peristiwa “Majlis Tahkim”.
Bagaiamanapun
Mesir adalah sebuah tempat yang sarat dengan peran politik dan kesejarahan.
Bagaimana tidak, nampaknya Mesir dilahirkan untuk selalu dapat berperan dan
memberikan sumbangan terhadap perjalanan sejarah Islam itu sendiri. Dari
segi ekonomi dan politik, ia memberikan sumbangan yang cukup besar
terutama sektor perdagangan dan pelabuhan Iskandariyah yang memang sejak
kerajaan Romawi Timur merupakan pelabuhan yang ramai. Sedangkan dari segi
pembangunan hukum Islam, Mesir merupakan daerah yang ikut melahirkan bentuk dan
aliran hukum Islam terutama dengan kehadiran Imam Syafi’i, yang hukum-hukumnya
sangat kita kenal.
Setelah kehancurn
kerajaan Islam di Bagdad, Mesir tampil dengan format perpolitikan yang baru,
yang berkembang bersama kerajaan Daulat Fatimiyah. Kerajaan Daulat Bani
Fathimiyah adalah salah satu dari tiga kerajaan besar Islam, yaitu Daulat
Safawiyah di Parsi dan Kerajaan Moghul di India, pasca kejayaan Islam pada masa
Daulat Bani Abasiyah di Bagdad dan Bani Umaiyah di Spanyol. Kehadiran Mesir
bersama Daulat Bani Fathimiyah yang didirikan oleh aliran/sekte Syi’ah
(kerajaan Syi’ah) telah memberikan isyarat adanya kekuatan Islam di saat Islam
mengalami kemunduran. Statemen tersebut bukanlah sebuah apologi, karena
bukti-bukti eksistensi kerajaan tersebut sampai saat ini masih dapat kita
jumpai, misalnya berdirinya Universitas Al-Azhar yang didirikan oleh
Nizamul Mulk sebagai pusat kajian keilmuan Islam.
Ketika melacak
sejarah Mesir, akan lebih menarik dari munculnya (kekhalifahan) dinasti
Fatimiyah yang membangun Universitas Al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam
besar tertua yang dianggap mewakili peradaban dan basis ilmiah-intelektual
pasca-klasik sampai modern, yang kini dianggap masih ada dan tidak terhapus
oleh keganasan perang, berbeda dengan Universitas Nizamiyah di Bagdad yang
hanya tinggal kenangan. Setelah keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat
disimbolkan sebagai khasanah pewarisan bobot citra keagamaan yang cukup
berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir memiliki aset
potensial dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme.
Setelah Dinasti
Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk sampai
tahun 1517 M, mereka inilah yang sanggup membebaskan Mesir dan Suriah
dari peperangan Salib serta yang membendung kedahsyatan tentara Mogol di
bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk. Dengan demikian Mesir terbebaskan dari
penghancuran dari pasukan Mogol sebagaimana yang terjadi di dunia Islam
yang lain.
Ketika Napoleon
Bonaparte menginjakkan kakinya di Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam
kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara politik, negeri ini terbelah oleh
dua kekuatan yang saling menghancurkan. Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa
secara turun-temurun sejak abad ke-13 dan kekuatan yang didukung oleh
pemerintahan Utsmani di Istanbul.
Situasi kekuasaan
dan pemerintahan di Mesir pada waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan
stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial kemasyarakatan sebagai wilayah yang
selalu diperebutkan dan diincar oleh negara-negara Islam kuat
sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk
membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang.
Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang
melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi
kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan
untuk dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian
menguasai dunia.
Pada
tanggal 2 Juni 1798 M,
ekspedisi Napoleon mendarat di Alexandria (
Mesir) dan berhasil mengalahkan Mamluk dan berhasil menguasai Kairo. Setelah
ditinggal Napoleon digantikan oleh Jenderal Kleber dan kalah ketika bertempur
melawan Inggris. Dan pada saat bersamaan datanglah pasukan Sultan Salim
III ( Turki Usmani) pada tahun 1789-1807 M dalam rangka
mengusir Prancis dari Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah Muhammad
Ali yang kemudian menjadi gubernur Mesir di bawah Turki Usmani.[8]
Walaupun Napoleon
menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya
sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir. Napoleon Bonaparte menguasai Mesir
sejak tahun 1798 M. Ini merupakan momentum baru bagi sejarah umat Islam,
khususnya di Mesir yang menyebabkan bangkitnya kesadaran akan kelemahan dan
keterbelakangan mereka. Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping membawa pasukan
yang kuat, juga membawa para ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah untuk
mengadakan penelitian.[9]
Harun Nasution
menggambarkan ketika Napoleon datang ke Mesir tidak hanya membawa tentara,
akan tetapi terdapat 500 orang sipil 500 orang wanita. Diantara jumlah tersebut
terdapat 167 orang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan membawa 2
unit percetakan dengan huruf Latin, Arab dan Yunani, tujuannya untuk
kepentingan ilmiah yang pada akhirnya dibentuk sebuah lembaga ilmiah dinamai
Institut d’Egypte terdiri dari ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi politik, dan
sastera seni. Lembaga ini boleh dikunjungi terutama oleh para ulama
dengan harapan akan menambah pengetahuan tentang Mesir dan mulailah terjadi
kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka.[10]
Alat percetakan
yang dibawa Napoleon tersebut menjadi perusahaan
percetakan Balaq, perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang.
Sedangkan peralatan modern pada Institut ini seperti mikroskop, teleskop,
atau alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan kerja orang Prancis
merupakan hal yang asing dan menakjubkan bagi orang Mesir pada saat itu.
Abdurrahman
al-Jabarti, ulama al-Azhar dan penulis sejarah, pada tahun 1799 berkunjung ke
Institut d’Egypte; sebuah lembaga riset yang didirikan oleh Napoleon di Mesir.
Ketika kembali dari kunjungan itu, al-Jabarti berkata, “saya lihat di sana
benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal besar untuk
dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada kita”, ungkapan al-Jabarti itu
merefleksikan kemunduran Islam berhadapan dengan Barat, dan menunjukkan
aktivitas ilmiah mengalami kemunduran umat Islam ketika itu.[11]
Di samping kemajuan teknologi
yang dibawa Napoleon, ia juga membawa ide-ide baru yang dihasilkan Revolusi
Prancis seperti:
a. Sitem
pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk waktu
tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh
Parlemen. Sementara yang belaku pada saat itu sistem pemerintahan raja absolut
yang menjadi raja selama ia hidup dan digantikan oleh anaknya, serta tidak
tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena keduanya tidak ada.
b. Ide
persamaan ( egaliter) dalam arti sama kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam
soal pemerintahan, cara mendirikan suatu badan kenegaraan yang
terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dagang dari Kairo dan
daerah-daerah lain.
c. Ide
kebangsaan dengan menyebutkan orang Prancis merupakan suatu bangsa (nastion)
dan kaum Mamluk merupakan orang asing yang datang ke Mesir walaupun beragama
Islam. Pada saat itu yang ada hanya umat Islam dan tidak sadar akan
perbedaan bangsa dan suku bangsa.[12]
Menurut Philip K.
Hitti, Napoleon Bonaparte mendarat di Iskandariyah pada Juli 1798 dengan tujuan
menghukum kaum Mamluk yang dituduh dalam pidato kedatangannya dalam
bahasa Arab sebagai muslim yang tidak baik, tidak seperti dirinya dan orang
Prancis untuk mengembalikan kekuasaan Porte. Tujuan utamanya melancarkan serangan
hebat kepada kerajaan Inggris dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan
wilayah Timur, sehinga ia memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Akan
tetapi penghancuran arnada Prancis di Teuluk Aboukir ( 1 Agustus
1798 ), tertahannya ekspedisi di Akka ( 1799) serta kekalahan pertempuran
Iskandariyah ( 21 Maret 1801) mengagalkan ambisi Napoleon di Timur.[13]
Diantara
keberhasilan yang telah dicapai oleh orang sipil Prancis di Mesir sebagai
berikut:
a.
Membuat saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil
pertaniannya berlibat ganda.
b.
Di bidang sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal
dengan Rossetta Stone.
c.
Di Bidang pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahan
yang kepala negaranya dipilih dalam waktu tertentu dan tunduk pada
perundang-undangan. Hal ini tentu saja sulit diterima oleh para menguasa pada
saat itu.[14]
Hal inilah yang
membuka mata para pemikir-pemikir Islam untuk melakukan perubahan meninggalkan
keterbelakangan menuju modernisasi di berbagai bidang khususnya bidang
pendidikan. Upaya pembaharuan dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, kemudian
diikuti oleh pemikir-pemikir lainnya.
Sementara yang
sedang terjadi dan berkembang di Mesir pada saat itu antara lain dalam bidang
pendidikan sangat doktrinal, metode penguasaan ilmu menghafal di luar
kepala tanpa ada pengkajian dan telaah pemahaman, membuat ajaran-ajaran Islam
seperti dituangkan sedemikian rupa ke kepala murid dan mahasiswa. Para
murid dan mahasiswa tinggal menerima apa adanya. Diskusi dan dialog
menjadi barang langka dalam pengkajian keislaman. Selain itu filsafat dan
logika dianggap tabu sebagai mata kuliah di perguruan tinggi dan madrasah.
Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh, ia merasa jenuh dengan cara menerima ilmu
dengan metode menghafal luar kepala
Belum lagi
realitas sosial keagamaan secara umum yaitu berkembangnya pengaruh paham
keagamaan dalam tarikat yang membuat iklim Islam makin terorientasi kepada
akhirat. Zuhud ekstrem dari metode tarikat membuat ummat Islam lebih berusaha
mengurusi alam ghaib, ketimbang dunia realitas. Pelarian kepada dunia akhirat
membuat umat Islam tidak mempunyai semangat perjuangan melawan dominasi
kezaliman disekitarnya, termasuk kezaliman penguasa. Guru-guru tarikat akhirnya
menjadi top figur dalam kepemimpinan agama.
Setelah meninggal
dunia pun kuburan para syaikh tarikat ini masih dimuliakan dan dianggap sebagai
wali yang selalu diziarahi. Namun ummat Islam yang menziarahi itu tidak
benar-benar menginsyaratkan kepada akhirat, tapi hanya meminta berkah dan
mengais keberuntungan material terhadap makna kekeramatan yang dihajatkan
mereka. Pada klimaksnya, timbullah pengkultusan individu berlebihan yang
membuat seseorang akan mudah terpuruk kepada perilaku musyrik. Karena mereka
lebih mengutamakan meminta kepada para wali yang ada di dalam kubur sehingga
mengabaikan berdoa langsung kepada-Nya.
Kondisi sosial
keagamaan juga demikian, sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad al-Bahy rakyat
Mesir dan dunia Islam pada umumnya lebih mementingkan tindakan individual.
Ukhuwah Islamiyah yang menekankan kepada kebersamaan, persatuan, dinamisme
hidup, rasionalitas berpikir dalam lapangan keagamaan, dan sebagainya telah
hilang dikalangan umat Islam. Termasuk di kalangan Universitas Al-Azhar
sendiri, yang digambarkan oleh Muhammad Abduh sudah kehilangan roh intelektual
dan jihad keagamaan yang berpijak kepada kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pembaharuan
Islam di Mesir menurut John L. Esposito dilatarbelakangi oleh
ortodoksi sunni yang mengalami proses kristalisasi setelah bergulat dengan
aliran muktazilah, aliran syiah dan kelompok khawarij yang kemudian
disusul dengan sufisme yang pada tahapan selanjutnya mengalami degenerasi.
Degenerasi dan dekadensi aqidah dan politik nepotisme dan absolutis yang
bertentangan semangat egaliterianisme yang diajarkan Islam setelah
merajalelanya bid’ah, kurafat, fabrikasi dan supertisi di kalangan umat Islam
dan membuat buta terhadap ajaran-ajaran Islam yang orisinal. Maka tampilah pada
abad peralihan 13 ke-14 seorang tokoh Ibnu Taimiyah yang melakukan kritik tajam
sebagai reformis ( Tajdid) dengan seruannya agar umat Islam kembali kepada
Al-Quran, Sunnah serta memahami kembali ijtihad.
Lebih jauh
Muhamamd Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga
merupakan salah satu pendorong mandegnya kebebasan intelektual, sehingga
ia sendiri merasa tidak begitu tertarik mendalami agama pada masa kecil
lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar
kepala.
Al-Azhar yang
selama ini berkembang menjadi simbol kajian keilmuan, juga terjangkit penyakit
kejumudan dengan hanya mengajarkan ilmu agama dan melarang segala bentuk kajian
keilmuan yang berangkat dari sisi rasionalitas, sistematik dan ilmiyah.
Keterbukaan dalam melakukan pemikiran keislaman dan pendidikan dengan orientasi
pada sikap rasionalitas merupakan barang baru, yang sama sekali tidak
berkembang di kalangan umat Islam Mesir, dan tawaran-tawaran semacam itu akan
menimbulkan reaksi yang keras, yang berkembang dari mereka yang tidak mau
menggunakan rasionalitas dan pembahasan sistematis terhadap ajaran Islam. Hal
tersebut sangat wajar karena umat Islam telah jatuh pada sikap kehangatan
sufisme dan mistisisme.
Kehadiran
Napoleon ini sangat berarti bagi timbulnya pola pendidikan dan pengajaran
Barat, yang sedikit demi sedikit akan mengubah persepsi dan pola
pemikiran umat Islam, dan ini sudah barang tentu akan melahirkan semangat
pengkajian dan pembaharuan dalam Islam.
Maka pada tahap
perkembangannya pola pembaharuan Islam Kontemporer di Mesir lebih mengarah
kepada hal-hal berikut: Pertama, pembaharuan sistem berfikir artinya tata cara
berfikir umat Islam yang harus meninggalkan pola pikir tradisional yang
dogmatik.Kedua, upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh
kesempatan melakukan aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam
percaturan politik, ekonomi dan hukum di dunia, sebab selama ini, umat Islam
secara aktif tidak mampu memberikan partisipasinya dalam percaturan dunia.
2. Tokoh-Tokoh Pembaharuan di
Mesir dan pemikirannya
Tokoh-tokoh pembaharuan dalam
Islam di Mesir antara lain: Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaludin
al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida dan murid serta pengikut Muhammad Abduh
seperti Muhammad Farid Wajdi, Tantawi Jauhari, Qasim Amin, Sa’ad Zaghlul, Ahmad
Lutfi al-Sayid, Ali Abdul Raziq dan Taha Husain.
BAB III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pembaharuan dalam
Islam merupakan suatu keharusan yang terjadi dalam siklus kehidupan dengan
tujuan memperbaiki segala persoalan sosial keagamaan yang sangat dibutuhkan
masyarakat pada saat itu sebagai akumulasi dari sebab akibat yang terjadi di
masyarakat, sehingga melahirkan tokoh-tokoh pembaharuan yang mengadakan
perubahan terhadap keadaan yang sedang berlangsung walaupun harus berlawanan
dengan faham dan pemikiran yang ada.
Karakteristik
pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir ada keragaman yang menjadi
acuan serta latar belakang tokohnya. Pembaharuan di Mesir lebih banyak
berangkat dan digerakan pembaharuan pemikiran akademis baik itu dari lulusan
Al-Azhar sebagai tempat khazanah ilmu atau perguruan tinggi lainnya. Begitu
pula latar belakang kehidupan dan pengalaman seorang tokoh pembaharu akan
mewarnai gerakan pembaharuan yang dilakukannya, seperti adanya perbedaan
gerakan pembaharuan Jamaludin al-Afghani dengan Muhammad Abduh. . Di
Mesir tokoh pembaharuan berhadapan dengan keadaan pola pendidikan, politik dan
sosial keagamaan masyarakat yang sedang mengalami penjajahan dari bangsa Barat,
Tujuan akhir dari
pembaharuan yang dilakukan oleh tokoh pembaharuan bagaimana Islam dapat
menjawab segala persoalan yang terjadi di masyarakat dan tetap sesuai di segala
zaman, serta ajaran Islam memberikan kontribusi yang positif dalam setiap
perkembangan zaman. Wallahu a’lam bi showab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Hamid, Editor), Pemikiran Modern Dalam Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2010
Abidin
Ahmad, H. Zainal, Sejarah Islam dan Ummatnya, Bulan Bintang, Jakarta , 1979,
Arnold
Toynbee, Mankind and Mother Earth ( terjemah. Sejarah Umat Manusia),
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007
Azyumardi
Azra, Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, dalam
Pengantar DR. Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Paramadina,
Jakarta, 2003.
Barmawi,
Ahmad., 118 Tokoh Muslim Genius Dunia, Jakarta, Restu Agung, 2006.
Supriyadi,
Dedi., Perbandingan Fiqh Siyasah: Konsep Aliran dan tokoh-tokoh politik
Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2007.
Tohir
Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta, Raja Grapindo
Persada,.Islam, Jakarta, Rajawali Pers.,2009
Tohir
Ajid., Studi Kawasan Dunia
Thohir,
Ajid.. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar
Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada. 2004
[2] Lihat Harun Nasution, dalam
buku Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan Gerakan,h.5-6, yang
membagi sejarah Islam kedalam tiga periode besar: Klasik, pertengan dan modern
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: hal. 109
[4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran
dan Gerakan,h. 3.
[7] M. Riza Sihbudi
dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, (Bandung, PT.
Eresco,1993).h. 81-82.)
[8] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah
Pemikiran dan Gerakan , h. 28-33
[9] Prof. Dr. Jaih Mubarok,M.Ag, Sejarah Perdaban Islam,Pustaka
Islamika, 2008 cet-1.h.227
[10] Ibid . h.23
[12] Ibid. h. 24-25
[13]Philip
K. Hitti, History of The Arabic , ( Terjemahan R. Cecep Lukman), Jakarta, PT.
Serambi Ilmu Semesta, h. 924
[14]Drs.
H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam
Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada. 1998, hal. 65-66.
No comments:
Post a Comment