SELAMAT DATANG PENGUNJUNG BLOG KAMI, SEMOGA ANADA DAPAT MANFAAT DARI BLOG YANG SAYA BUAT INI.

Saturday, March 3, 2012

MAKALAH DZN AN-NUN-ALMISHRI


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-akselerasi sains dan teknologi canggih. Keadaan ini membuat manusia lengah sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita alienasi (dalam bahasa sosiolog, berarti keterasingan) adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir (ultimate goal) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Memiliki dan Mahaabsolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan.
Tasawuf sering dianggap sebagai salah satu metode alternative yang banyak dipakai manusia untuk mendekati Tuhannya. Tasawuf juga merupakan fenomena yang menarik perhatian sehingga tema-tema actual yang paling menonjol sekarang ini adalah tema-tema sufisme.
Pada abad pertama orang belum mengenal istilah tasawuf, yang muncul hanya benih-benihnya saja, seperti munculnya istilah “nussak”, “zuhhad”, dan “ubbad”. Nussak adalah orang-orang yang menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Allah; Zuhhad adalah orang-orang yang menghindari dunia beserta kemegahan, harta benda, dan pangkat duniawi; dan Ubbad adalah orang-orang yang berusaha mengabdikan dirinya hanya semata-mata kepada Allah. Pada abad ini muncul nama Hassan al Bashri yang terkenal dengan ajarannya khauf (takut kepada Allah, dan raja’(berharap atas kasih Allah).
Kemudian pada abad ketiga muncullah seorang sufi termasyhur, yaitu Dzun Nun al Mishri. Ia banyak menambahkan cara manusia lebih mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan hidupnya adalah mencari kecintaan Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut berpaling dari jalan Allah. Oleh karena itu pemakalah disini akan membahas tentang biografi serta ajaran tasawuf dan ma’rifat menurut  Dzn Al-Nun Al-Mishri.
B. Rumusan Masalah
1.        Siapakah Dzu al-Nun al-Mishri itu ?
2.        Apasajakah hasil Pemikiran atau ajaran yang di sumbangkan oleh Dzn Al-Mishri ?
3.        Bagaimana pemikiran ma’rifat menurut Dzu al-Nun Al-Mishri ?
4.        Bagaimana Pemikiran Maqamat dan Ahwal menurut Dzun Nunal Mishri ?

C. Tujuan Penulisan
1.        Mengetahui Biografi Dzn Al-Nun Al-Mishri.
2.        Mengetahui Hasil Pemikiran atau ajaran yang di sumbangkan oleh Dzn Al-Mishri.
3.        Mengetahui Pemikiran ma’rifat menurut Dzu al-Nun Al-Mishri ?
4.        Mrngetahui Pemikiran Maqamat dan Ahwal menurut Dzun Nunal Mishri?


BAB II
PEMBAHASAN


A. Biografi   Dzn Al-Nun Al-Mishri (180-246 H)
Nama lengkapnya ialah Abu al- Faidl Tsauban bin Ibrahim Dzn al-Nun al-Misri al-Akhmini Qibthy.Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. ada juga pendapat yang mengatakan bahwa dia berasal Naubah suatu negeri yang terletak anatara Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, yang diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860 M.[1] Menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum sufi dalam abad ketiga hijriyah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menurut garis perintah yang diturunkan dan takut terpaling dari jalan yang benar.[2]
Dzu al-Misri, memandang bahwa ulama- ulama Hadits dan Fiqh memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai suatu hal yang menarik keduniaan di samping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup sensitive barangkali menyebabkan para fuqaha mulai membenci dan menantangnya dan sekaligus menuduhnya sebagai seorang zindiq[3]. Tidak hanya sampai di situ, bahkan para fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang pada waktu itu dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Hakam penganut mazhab Maliki. Dzu al-Nun Misri dipanggil dan ditanyai oleh pimpinan ulama itu. Dari berbagai jawaban dan uraian yang diberikannya, maka pimpinan ulama itu menuduhnya sebagai seorang zindiq. Setelah itu Dzu al-Nun merasa bahwa dirinya tidak lagi disenangi masyarakat daerahnya. Untuk itu ia memutuskan untuk sementara waktu berkelana ketempat lain. Setelah merantau beberapa lama ia kembali pulang ke Mesir dan penguasa waktu itu ialah Ibnu Abi Laits, berpaham mazhab Hanafi sebagai pengganti Muhammad bin Abdul Hakam yang meninggal. Di Mesir, ia dituduh orang banyak sebagai orang yang zindiq dan demikian pula sikap penguasa waktu itu. Bahkan menyuruhnya pergi ke Baghdad menemui khalifah untuk menerima hukuman penjara.
Akan tetapi di Baghdad banyak sufi yang berasal dari Mesir dan di antara mereka ada yang bekerja sebagai peawai dilingkungan istana. Para sufi itu berusaha agar khalifah al-Mutawakkil bersedia menerima kedatangan Dzu al-Nun al- Misri. Ternyata kemudian khalifa al-Mutawakkil bersedia menerima kedatangan Dzu al-Nun al-Mishri serta menerima ajaran- ajaran yang dikembangkannya. Pada waktu al-Mishri akan kembali ke Mesir, khalifah melepasnya dengan penghormatan. Sesampainya di Mesir, ia kembali menyebar luaskan ajaran tasawufnya dan sejak itu pulalah tasawuf berkembang dengan pesat di kawasan Mesir. Namun tidak lama kemudian ia wafat di Jizah dan makamkan di Qurafah shughra pada tahun 245 Hijriyah.
Jasa Dzu al-Nun al-Misri yang paling besar dan menonjol dalam dunia tasawuf adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqomat. Dia banyak memberikaan petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi. Karenanya, ia juga sering disebut pemuncaknya kaum sufi pada abad ketiga hijriyah. Adapun pendapat- pendapatnya disekitar metode mendekatkan diri kepada Allah atau al-maqomat dan al-ahwal. Di samping itu, al-Mishri adalah salah seorang pelopor doktrin al-ma’rifah. Dalam hal ini dia membeda antara pengetahuan dan keyakinan. Menurutnya pengetahuan adalah hasil pengamatan inderawi, yakni apa yang dapat diterima melalui panca indra. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari apa yang dipikirkan dan atau diperoleh melalui intuisi. Dalam hubungan ini, ia menjelaskan, bahwa pengetahuan itu ada tiga kualitas, yaitu[4]:
a)      pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat
b)      pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti- bukti dan pendemontrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang- orang yang bijak, pintar dan terpelajar, para mutakallim dan filosof
c)      pengetahuan tentang sifat- sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik orang-orang yang saleh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan mata hatinya, sehingga Allah menampakan diri kepada mereka dengan cara yang ia tidak berikan kepada siapapun di dunia kecuali kepada aulia.
Pengetahuan ini yang disebut ma’rifat yang diurai rinci oleh Dzu al-Nun al-Mishri dalam dunia tasawuf, sesudah dicetuskan pertama kali oleh Ma’ruf al- Kharki.
B. Ajaran Dzn Al-Nun al-Mishri
1. Konsep Al-Ma’rifah Menurut Dzn Al-Nun Al-Mishri
Ma’rifat, menurut al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Hanya terdapat pada para sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati nurani mereka. Mahrifat dimasukan Tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika ia ditanya bagaimana ia mencapai ma’rifat tentang Tuhan, ia menjawab :
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak akan tahu Tuhan”[5]
ungkapan tersebut menunjukan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukan kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriyah sebagai pengabdian yang dikerjakan tubuh untuk beribadat. ma’rifat juga dimaksudkan dengan komunikasi cahaya dari Tuhan ke dalam hati nurani seseorang. Orang- orang yang sudah mencapai ma’rifat tidak lagi berada dalam diri mereka, tetapi mereka berada dalam dzat Tuhan. Mereka dapat melihat tanpa pengetahuan, tanpa mata, tanpa penerangan, tanpa tampa opservasi, tanpa penghalang dan hijab. Semua gerakan – gerakan merekan adalah di sebabkan oleh ALLAH. Kata –kata mereka adalah kata-kata Allah yang di ucapkan melalui lidah mereka . Dan penglihatan mereka adalah penglihan Tuhan yang telah masuk ke dalam mata mereka . dengan demikian , taraf tertinggiyang dapat dicapai oleh sufi sesudah masanya Dzu al-Nun al-Mishri ini adalah memperoleh pengetahuan super intelektual yang terkenal dengan istilah al-ma’rifat.
Dzun Nun al Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang al Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Keberhasilan itu ditandai dengan :
1.      Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu melaksanakan kegiatan sufi menggunakan pendekatan qalb atau hati dan ma’rifat aqliah yaitu menggunakan pendekatan akal.
2.      Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al qalbiyah sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman azali.
3.      Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori ini dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud dan ittihad. Oleh karena itu dialah orang yang pertama mamasukkan unsur falsafah ke dalam tasawuf.
Teori ini pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog sehingga Dzun Nun al Mishri dianggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu ia ditangkap oleh Khalifah Al Mutawakkil (Khalifah Abbasyiah yang memerintah tahun 232 H/847 M – 247 H/861 M), namun akhirnya dibebaskan. Fenomena ini wajar karena kita temui pandangan al ma’rifatnya yang pada mulanya cenderung antithesis terhadap aqliyah dan kalam.
Berikut ini adalah pandangannya tentang al ma’rifat :
1.      Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah. Akan tetapi ia adalah ma’rifat terhadap Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamaba-hamba yang lain.
2.       Al ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya al ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur (fana) dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa hamba, bicara dengan ilmu yang telah diletakkan oleh Allah pada lidah mereka, melihat dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan perbuatan Allah[6].
Kedua ungkapan di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifah bathin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercematan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini manusia perlahan-lahan terangkat ke atas sifat-sifatnya yang rendah dan selanjutnya menyandang sifat-sifat yang luhur seperti yang dilimiki Tuhan. Pandangan-pandangan seperti inilah yang nantinya diteruskan dan dikembangkan oleh Abu Yazid al Bustami, al Junaid sampai al Ghazali.
Menurut Abu Bakar al kalabadzi (wafat 380 H/990 M) dalam bukunya Al Ta’aruf li Mazahid Al Tashawwuf (Pengenalan terhadap Madzhab-madzhab Tasawwuf), Dzun Nun al Mishri telah sampai kepada tingkatan ma’rifat, yaitu tingkatan maqam (stasiun) tertinggi dalam tasawuf, setelah melewati maqam taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakkal, rida, dan cinta (mahabbah). Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzun Nun al Mishri ditanya tentang cara memperoleh ma’rifat, ia menjawab, “’arafu rabbi bi rabbi walau la rabbi lamma ‘arafu rabbi” ,Aku mengenal Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan , aku tidak akan mengetahui Tuhan). Kata-kata Dzun Nun al Mishri ini sangat popular dalam ilmu tasawuf. Menurut Abu Al Qasim Abd Karim Al Qusyairi, Dzun Nun al Mishri mengakui bahwa ma’rifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugrah yang dilimpahkan Tuhan kepada dirinya.[7]
Dzun Nun al Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga bagian, yaitu :
1.      Pengetahuan untuk seluruh muslim
2.      Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama
3.      Pengetahuan khusus untuk para wali Allah
.           Menurut Harun Nasution, jenis pengetahuan yang pertama dan kedua belum dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan al ma’rifat, tetapi disebut dengan ilmu. Adapun jenis pengetahuan yang ketiga baru disebut dengan al ma’rifat.[8]
            Dari ketiga macam pengetahuan Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya (para wali) adalah yang paling tinggi tingkatannya karena mereka mencapai tingkatan musyahadah. Para ulama dan filosof tidak mampu mencapai maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal itu sendiri mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dzun Nun al Mishri mempunyai sestematika tersendiri dalam perjalanan rohaninya menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abu Hamid Mahmud mencoba menggambarkan tariqahnya sebagai berikut :
1.      Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenalnya.
2.      Jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al inabah ialah jalan yang dimulai dengan meminta cara ikhlas dan benar, dan thariq al ihtiba, jalan ini tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang, jalan ini urusan Allah semata.
3.      Di sisi lain Dzun Nun al Mishri mengatakan manusia itu terdiri dari dua macam, yaitu dari dan wasil. Dari adalah orang yang menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah yang berjalan di atas kekuatan al ma’rifat.
Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan bahwa pada garis besarnya terdapat dua jalan yang ditempuh Dzun Nun al Mishri dalam mendekati Tuhan, yaitu thariqah yang biasa ditempuh oleh para ahli sufi melalui maqamat yang dilakukan secara sistematis dan ketat mulai tobat. Adapun thariqah yang kedua yaitu ijtiba bersifat personal.
Untuk jalan thariqah, Dzun Nun al Mishri menceritakan secara lebih rinci tahapan-tahapan situasi batin yang hendak menuju tingkat arif (ahli ma’rifat), yaitu : iman, khauf, tha’ah, raja, al mahabbah, syauq, uns, thuma’ninah, dan na’im. Di samping menggunakan thariqah seperti ini, ia juga menempuh perjalanan sufinya melalui maqamat tertentu yang intinya dimulai dari taubat, wara, zuhud, tawakkal, rida, al ma’rifat, sampai mahabbah.
Menurut Dzun Nun al Mishri, sebelum ia sampai pada maqam al ma’rifat, dia melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan puisinya adalah sebagai berikut :
“…. Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu dengan ridaku dengan semangat Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah seorang sufi besar, bapak paham al ma’rifat dalam terminologi sufisme karena keberhasilannya dalam menampilkan corak baru kehidupan sufistik, yang lebih menekankan pendekatan al ma’rifat qalbiyah dari pada al ma’rifat aqliyah. Inti ajaran al ma’rifat adalah mengetahui dan melihat Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari sempat meliha-Nya tanpa penghalang. Pengetahuan inti adalah anugrah Allah yang diberikan kepada orang-orang tertentu.

2. Maqamat dan Ahwal Menurut Dzn Al-Nun Al-Mishri
Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang senantiasa dialami oleh orang yang menjalani tasawuf sebelum mencapai tujuan yang dikehendaki, Yang pertama berupa tahapan perjalanan, dan yang kedua berupa keadaan.
1. Maqamat
Maqamat dalam ilmu tasawuf mengandung arti kedudukan hamba dalam pandangan Allah, menurut apa yang diusahakan berupa latihan. Jika seseorang belum memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat suatu maqam, ia tidak boleh naik ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa maqam dijalani oleh seorang tasawuf melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sebuah kewajiban yang harus ditempuh untuk jangka waktu tertentu.
Menurut Dzun Nun al Mishri, maqam ini dapat diketahui berdasarkan tanda-tanda, simbol-simbol, dan amalannya. Oleh karena itu keberhasilannya itu merupakan penilaian yang berasal dari Allah, mencerminkan kedudukan seorang tasawuf di hadapan Allah.
Selanjutnya dalam Da’irat Al Ma’rifat Al Islamiyah diterangkan tentang simbol-simbol az zuhud menurut Dzun Nun al Mishri, yaitu sedikit cita-cita, mencintai kefakiran, memiliki rasa cukup yang disertai kesabaran. Sedangkan masalah tobat ia membedakan atas tiga tingkatan, yaitu :
1.Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya
2.Orang yang bertobat dari kalalaian dan kealfaan mengingat Tuhan
3.Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan Dzun Nun al Mishri tentang maqam as shobr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari sebuat riwayat. Suatu ketika ia menjenguk seorang yang sakit. Tatkala orang itu berbicara dengan Dzun Nun, “Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi Tuhan.” Orang itu kemudian mengatakan “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”.Petikan dialog di atas mengisyaratkan bahwa Dzun Nun berbicara dengan orang yang juga mengerti dunia sufisme.
Selanjutnya pengertian at tawakkal menurut Dzun Nun al Mishri adalah berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya kekuatan, intinya menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, disertai perasaan tidak memiliki kekuatan. Dan rida menurut pendapatnya ialah kegembiraan hati karena berlakunya ketentuan Tuhan.
2. Ahwal
Dalam kitab Isthilahat As Shuffiyah, ahwal dijelaskan sebagai pemberian yang tercurah pada seseorang dari Tuhannya, baik dari sebuah amal shaleh yang menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari Tuhan sebagai pemberian semata. Atau dengan kata lain ahwal adalah pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-nya yang dikehendaki. Pemberian itu adakalanya diberikan kepada orang yang berusaha kea rah itu dan adakalanya tanpa melalui usaha.
Menurut Dzun Nun al Mishri, setiap maqam memupunyai permulaan dan akhir. Diantara keduanya terdapat aneka ahwal. Setiap maqam mempunyai symbol, dan setiap hal ditunjuk oleh isyarat. Penjelasan ini menunjukkan bahwa maqam beerangsung lebih lama dari ahwal. Maqam bersifat tetap, dan ahwal silih berganti, datang dan pergi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.      Dzun Nun al Mishri adalah seorang tasawuf pertama yang memberikan tafsiran-tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia juga orang pertama yang berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang pertama yang memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik.
2.      Al Ma’rifat menurut pandangan Dzun Nun al Mishri adalah al ma’rifat terhadap keesaan Allah yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
3.      Maqamat adalah kedudukan hamba dalam pandangan Allah, Maqam ini menurut Dzun Nun al Mishri dapat diketahui berdasarkan tanda-tanda, simbol-simbol, dan amalananya.
4.      Ahwal adalah sifat dan keadaan sesuatu. Menurut Dzun Nun al Mishri setiap maqam mempunyai permulaan dan akhir. Dintara keduanya terdapat ahwal. Setiap maqam memiliki symbol dan setiap ahwal ditunjuk oleh isyarat
B. Saran
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-akselerasi sains dan teknologi canggih. Keadaan ini membuat manusia lengah sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih. Pemakalah di sini meminta kepada semua pihak untuk tidak lupa mengingat sang pencipta di jaman yang serba Modern ini, kami menghimbau kepada semua pembaca dan khususnya pemakalah sendiri agar bisa menyeimbangkan kehidupan dunia dan akherat
            Akhirnya, pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu teselesainya makalah ini, dan pemakalah juga mengharapkan para pembaca budiman dapat memberikan saran atau masukan yang bisa meningkatkan kualitas makalah ini.


.DAFTAR PUSTAKA


Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf , Pustaka setia. Bandung 2009, Hlm. 1442.
Mustofa,H.A. Drs, akhlak tasawuf , Pustaka setia, Bandung 1997
Anwar, rosihon,DR,M.Ag, akhlak tasawuf  Pustaka setia,Bandung 2009.
Isa, ahmad, Tokoh-Tokoh Sufi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000.
Jumantoro, totok,kamus ilmu tasawuf , PT. Toha Putra. Semarang  2001.
Sholihin, M,ilmu tasawwuf , Pustaka Setia, Bandung 2008
Suparta, H.M. Drs. Biografi terkemuka, PT.Toha Putra, semarang 2003


[1] Suparta, H.M. Drs. Biografi terkemuka, PT.Toha Putra, semarang 2003. Hal. 91

[2] Ibid.

[3] Anwar, rosihon,DR,M.Ag, akhlak tasawuf  Bandung: pustaka setia,2009. Hal. 115

[4] Isa, ahmad, tokoh-tokoh sufi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Hal.. 35
[5] Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf , Bandung: pustaka setia. 2009, Hlm. 1442.
[6] Jumantoro, totok,kamus ilmu tasawuf ,  PT. Toha Putra, Semarang. 2001. Hal..197
[7] Amzam.. Sholihin, M,ilmu tasawwuf , Bandung: Pustaka Setia, 2008. Hal. 79
[8] Ibid. hal. 89

No comments: