SELAMAT DATANG PENGUNJUNG BLOG KAMI, SEMOGA ANADA DAPAT MANFAAT DARI BLOG YANG SAYA BUAT INI.

Friday, March 2, 2012

PEMBAHARAUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT NAPOLEON BONAPARTE


BAB I.
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Kedatangan Napoleon di Mesir pada 1798 merupakan momentum penting dari perkembangan Islam. Kedatangan “penakluk dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata kaum muslim akan apa yang dicapai oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi, tetapi juga menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di antaranya akibat kontak itu di lingkuangan elit muslim para penguasa dan kalangan cendikiawan gerakan pembaharuan Islam kembali memperoleh gairah. Kaum muslim semakin intensif dan bersemangat mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar Islam khususnya dihadapkan pada kemajuan Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi umum masyarakat Islam bermunculan, seruan berjihad semakin nyaring terdengar, pandangan lama yang menganggap pintu ijtihad telah tertutup tidak hanya digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai cermin dari keterbelakangan intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas dari kalangan pembaharu.[1]
Meskipun kehadiran Barat telah memicu timbulnya respon dikalangan terpelajar muslim, kontak dengan Barat bukanlah satu-satunya aktor yang menyebabkan munculnya gerakan pembaruan dalam Islam. Di samping dalam batang tubuh doktrin doktrin Islam pembaharuan (tajdîd) merupakan sesuatu yang intern, kondisi objektif umat Islam sendiri yang secara umum ditandai oleh semakin memudarnya semangat keilmuan, kebekuan (jumûd) dibidang intelektual, dan berkembang pesatnya tradisi yang mendekati syirik, merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Faktor-faktor itu sekaligus juga merupakan tantangan kaum muslim, tidak hanya dalam tataran intelektual tetapi juga pada tataran empiris, seperti kekhalifahan yang berabad-abad bertahan dalam Islam mulai digugat.
Realitas sejarah menunjukkan kelengahan umat Islam dalam memahami pergeseran ‘’agama yang benar” kepada ‘’ortodoksi ideologi”. Akibatnya, ketika agama telah berubah menjadi fiqh dogma-dogma teologi Asy’ari, umat Islam kehilangan kesempatan menatap sisi-sisi negatif dikotomi itu. Kehadiran berbagai mazhab yang berseteru, partai yang bersaing, kelompok-kelompok muslim yang berselisih dan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang tidak akur adalah manifestasi dominasi fiqh yang menggerus akar kekuatan umat. Pertikaian pengikut Sunni dan Syi’ah merupakan contoh menarik dalam konteks ini.
Ketika umat Islam harus berhadapan dengan modernisasi negara-negara industri, daerah ‘’yang tak terpikirkan” itu semakin melebar. Hegemoni dunia Barat yang terus berlanjut tidak memperoleh respon antisipasif dari umat Islam. Karenanya, upaya kongkrit menghentikan kesenjangan itu merupakan solusi terbaik bagi mereka jika Islam sebagai agama yang membumi. Pemahaman, penghayatan dan pengalaman yang utuh terhadap semua dimensi ajaran Islam adalah resep terbaik bagi kebangkitan agama mereka .
Dalam konteks sejarah, unsur positif posmodernisme barangkali dapat ditemukan pada tradisi dan kehidupan Nabi yang mengedepankan massa dalam ajaran zaman. Negara Madinah, seperti terungkap di muka, adalah cermin teladan bagi kehidupan manusia lain, termasuk umat Islam pasca-nabi. Masa itu ditandai dengan kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang relatif makmur dan adil. Bahkan, kehidupan umat beragama memperoleh porsi memadai dalam situasi kondusif bagi pengembangan masing-masing agama.
Hal ini kemudian menyebabkan banyak pemikir Islam dan hingga kini berusaha keras untuk membuktikan bahwa Islam pun sejalan dengan perkembangan zaman itu. Mereka ingin menunjukkan bahwa Islam tidak ketinggalan zaman. Suara-suara yang menggaungkan isu tajdid (pembaharuan) terhadap Islam menggema di berbagai wilayah kaum muslimin. Sayangnya,  niat baik dan upaya keras ini seringkali justru berdampak negatif. Tanpa disadari, upaya tajdid yang mereka lakukan justru adalah “membaratkan Islam” dan bukan “mengislamkan nilai-nilai barat”.  Akibatnya, banyak nilai-nilai Islam yang bersifat prinsipil dinafikan, dan dianggap “mengganggu” kemajuan peradaban modern harus dibuang.  Ide-ide seperti sekulerisme, liberalisme dan pluralisme yang marak belakangan ini menurut hemat penulis tidak lebih merupakan bukti  dampak turunan  atas hal itu.
Penulis menyebut upaya tajdid semacam ini sebagai “tajdid yang tidak dilandasi oleh rasa ‘izzah (kebanggaan) pada Islam”. Ini adalah tajdid yang berangkat dari perasaan minder dan rendah diri pada Barat.  Hal ini yang akan membedakan gerakan pembaharuan dalam Islam yang terjadi di belahan dunia. Seorang tokoh pembaharuan yang telah memiliki pandangan keislaman yang kuat akan mengaitkan kemajuan modernisme Barat dengan ajaran Islam, sedangkan bagi tokoh pembaharuan yang kurang memiliki pandangan Islam yang kuat akan menghasilkan pemikiran yang berkiblat kepada Barat.
Akan tetapi karena terlalu luasnya bahasan pembaharuan dalam Islam ini, pemakalah akan membatasi pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir dan Turki dengan mengedepankan pemikiran-pemikiran parta tokoh di kedua negara tersebut yang terjadi pada abad ke-18 dan 19 yang berkaitan dengan segi pendidikan.[2] Dikatakan sebagai tokoh pembaharuan karena pada masa itu merubah pemahaman dan ajaran bahkan ideologi yang ada pada saat itu bukan merupakan hal yang mudah dan gampang akan tetapi ibarat menghadapi tembok kuat yang harus dirobohkan.
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan ini penulis akan membahas tentang :
1. Bagaimana Riwayat kehidupan Napoleon Bonaparte ?
2. Bagaimana Pemikiran Bonaparte dalam  pembaharuan Islam di Mesir?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah antara lain :
1. Untuk mengetahui secara detail Riwayat kehidupan Napoleon Bonaparte..
2. Untuk mengetahui konsep pemikiran Napoleon Bonaparte di mesir.


D. Manfaat
Dengan adanya pembahasan dan pemaparan makalah tentang konsep Pembahruan Islam menurut Napoleon Bonaparte, kita bisa mengetahui bagaimana konsep pendidikannya, dan dapat menambah wawasan dari berbagai organisasi yang beliau dirikan.



BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Pembaharuan dalam Islam
Secara etimologi, kata ‘pembaruan’ dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah tajdîd, memiliki makna antara lain; proses, cara, perbuatan membarui.[3] Sedangkan menurut Harun Nasution pembaharuan merupakan arti dari  at-Tajdid dalam bahasa Arab sebagai perkembangan modernisme yang terjadi di dunia Barat akibat perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga pembaharuan dapat dilihat dari  kata  modernism. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[4]
Dalam kamus Oxford pembaharuan dikenal dengan istilah resurgence diartikan sebagai kegiatan yang muncul kembali. Pengertian ini mengandung tiga hal:
1) Suatu pandangan dari dalam ”dimana suatu cara  kaum muslimin melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Sehingga keberadaan Islam disini menjadi penting kembali. Dalam artian memperoleh kembali prestasi  dan kehormatan dirinya”
2) Kebangkitan kembali” menunjukan bahwa keadaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak Nabi dan para pengikutnya dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh pada jalan hidup umat Islam.
3) Kebangkitan kembali sebagai suatu konsep” mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan-pandangan lain penjajahan bangsa barat atas dunia Islam[5]
Kata yang lebih dikenal dan lebih populer untuk pembaharuan ialah modernisasi. Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru ditimbulkan pengetahuan modern. Pikiran dan aliran di periode itu disebut age of reason atau englightenment  ( Masa Akal atau Masa Terang ) 1650 – 1800 M.
Akan tetapi pada perkembangan berikutnya, modernisme memiliki  arti-arti negatif di samping arti-arti positif, maka Harun Nasution lebih  banyak memakai istilah pembaharuan dalam Islam. Pembaharuan ini  mulai terjadi di dunia Islam  pada abad 18 Masehi dan seterusnya akibat jatuhnya Mesir ke tangan kekuasaan Napoleon dari Prancis yang mengakibatkan keinsyafan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Maka raja-raja dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali dengan cara melakukan pembaharuan dalam Islam.[6]
Faham modernisasi  ini mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Barat dan segera memasuki lapangan agama yang ada di Barat dipandang sebagai penghalang bagi kemajuan. Modernisasi dalam hidup keagamaan di Barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern. Aliran itu akhirnya membawa kepada sekularisme di barat.
Sebagaimana halnya  di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk  selanjutnya dibawa kepada kemajuan.
Pembaharuan dalam Islam mempunyai tujuan yang sama. Tetapi, perlu diingat bahwa dalam Islam ada ajaran-ajaran yang bersifat mutlak yang tak dapat dirubah-rubah, yang dapat dirubah hanyalah ajaran-ajaran yang tidak bersifat mutlak yaitu penafsiran atau interpretasi dari ajaran-ajaran yang bersifat mutlak itu. Dengan kata lain pembaharuan dapat dilakukan mengenai interpretasi atau penafsiran dalam aspek-aspek teologi, hukum, politik dan mengenai lembaga-lembaga yang ada.
Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas. Sebab jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan dilakukan? Sesuatu yang pada dasarnya ajaran yang batil dan semakin lama semakin batil, akan ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya syariat samawiyah yang mungkin mengalami tajdid. Sebab dasar pijakannya masih terjaga dengan sangat jelas hingga saat ini, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai pijakan tajdid  dapat dilihat dari sebuah hadits Rasulullah saw  yang menegaskan tentang kemungkinan itu, beliau berkata : “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung  seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid terhadap agamanya” ( HR. Abu Daud, No. 3740 ).  Tajdid di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman, memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala tentang hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer.
Dengan demikian, tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk: Pertama, memurnikan agama setelah perjalanannya berabad-abad lamanya dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka. Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembaharuan Islam bukanlah sesuatu yang evolutioner melainkan lebih cenderung devolusioner, dengan artian bahwa pembaharuan bukan merupakan proses perkembangan bertahap dimana yang datang kemudian lebih baik dari sebelumnya.
Pembaharuan dalam Islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep asalnya dipahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya. Disini bukan perubahan yang terjadi, tetapi peragaman makna dan penafsiran. Disamping itu, tajdid ini bisa berarti memperbaharui ingatan orang yang telah melupakan ajaran agama Islam yang benar, dengan memberi penjelasan dan argumentasi-argumentasi baru sehingga meyakinkan orang yang tadinya ragu dan meluruskan kekeliruan atau kesalahpahaman mereka yang keliru dan salah paham.
B. Pembaharuan Islam di Mesir
1. Latar Belakang Sejarah Pembaharuan di Mesir
Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibu kotanya merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir.
Kerajaan Romawi Timur dengan ibu kota Bizantium merupakan rival berat pengembangan Islam yang keberadaannya berlangsung sampai pada masa pemerintahan Kholifah Umar Bin Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi Timur merupakan target pengembangan misi keislaman dan akhirnya kekuatan militer Romawi tidak dapat menghambat laju kemenangan Islam di Mesir, karena keberadaan Islam sebagai agama baru memberikan keluasaan dan kebebasan untuk hidup, yang selama itu tidak diperoleh dari pemerintahan Romawi Timur, termasuk didalamnya kondisi yang labil karena berkembangnya konflik keagamaan.
Mesir   menjadi   wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin Khattab pada 640 M,  Mesir ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang kemudian ia dijadikan gubernur  di sana. Kemudian diganti oleh Abdullah Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut konflik yang menjadi salah satu sebab terbunuhnya Usman ra.  Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah ( sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang terkenal dengan perang salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki Usmani.[7]
Segera setelah Mesir menjadi salah satu bagian Islam, Mesir tumbuh dengan mengambil peranan yang sangat sentral sebagaimana peran-peran sejarah kemanusiaan yang dilakoninya pada masa yang lalu, misalnya :
a.       Menjadi sentral pengembangan Islam di wilayah Afrika, bahkan menjadi batu loncatan pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar (Aljajair dan Tunisia).
b.      Menjadi kekuatan Islam di Afrika, kakuatan militer dan ekonomi.
c.       Pengembangan Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam pada masa Nabi Musa yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian.
d.      Menjadi wilayah penentu dalam pergulatan perpolitikan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat Bani Umaiyah dengan tergusurnya Ali Bin Abi Thalib dalam peristiwa “Majlis Tahkim”.
Bagaiamanapun Mesir adalah sebuah tempat yang sarat dengan peran politik dan kesejarahan. Bagaimana tidak, nampaknya Mesir dilahirkan untuk selalu dapat berperan dan memberikan sumbangan terhadap perjalanan sejarah Islam itu sendiri.  Dari segi ekonomi dan politik,  ia memberikan sumbangan yang cukup besar terutama sektor perdagangan dan pelabuhan Iskandariyah yang memang sejak kerajaan Romawi Timur merupakan pelabuhan yang ramai. Sedangkan dari segi pembangunan hukum Islam, Mesir merupakan daerah yang ikut melahirkan bentuk dan aliran hukum Islam terutama dengan kehadiran Imam Syafi’i, yang hukum-hukumnya sangat kita kenal.
Setelah kehancurn kerajaan Islam di Bagdad, Mesir tampil dengan format perpolitikan yang baru, yang berkembang bersama kerajaan Daulat Fatimiyah. Kerajaan Daulat Bani Fathimiyah adalah salah satu dari tiga kerajaan besar Islam, yaitu Daulat Safawiyah di Parsi dan Kerajaan Moghul di India, pasca kejayaan Islam pada masa Daulat Bani Abasiyah di Bagdad dan Bani Umaiyah di Spanyol. Kehadiran Mesir bersama Daulat Bani Fathimiyah yang didirikan oleh aliran/sekte Syi’ah (kerajaan Syi’ah) telah memberikan isyarat adanya kekuatan Islam di saat Islam mengalami kemunduran. Statemen tersebut bukanlah sebuah apologi, karena bukti-bukti eksistensi kerajaan tersebut sampai saat ini masih dapat kita jumpai, misalnya berdirinya  Universitas Al-Azhar yang didirikan oleh Nizamul Mulk sebagai pusat kajian keilmuan Islam.
Ketika melacak sejarah Mesir, akan lebih menarik dari munculnya (kekhalifahan) dinasti  Fatimiyah yang membangun Universitas Al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam besar tertua yang dianggap mewakili peradaban dan basis ilmiah-intelektual pasca-klasik sampai modern, yang kini dianggap masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang, berbeda dengan Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan. Setelah keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan  sebagai khasanah pewarisan bobot citra keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir memiliki aset potensial dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme.
Setelah Dinasti Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk sampai tahun 1517 M,  mereka inilah yang sanggup membebaskan Mesir dan Suriah dari peperangan Salib serta yang  membendung kedahsyatan tentara Mogol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk. Dengan demikian Mesir terbebaskan dari penghancuran dari  pasukan Mogol sebagaimana yang terjadi di dunia Islam yang lain.
Ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan yang saling menghancurkan. Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa secara turun-temurun sejak abad ke-13 dan kekuatan yang didukung oleh pemerintahan Utsmani di Istanbul.
Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada  waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan  dan diincar oleh negara-negara Islam kuat sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk  dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia.
Pada   tanggal   2 Juni  1798 M,      ekspedisi Napoleon mendarat  di Alexandria     ( Mesir) dan berhasil mengalahkan Mamluk dan berhasil menguasai Kairo. Setelah ditinggal Napoleon digantikan oleh Jenderal Kleber dan kalah ketika bertempur melawan Inggris. Dan pada saat bersamaan datanglah pasukan Sultan Salim III    ( Turki Usmani) pada tahun 1789-1807 M dalam rangka mengusir Prancis dari Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah Muhammad Ali yang kemudian menjadi gubernur Mesir di bawah Turki Usmani.[8]
Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir. Napoleon Bonaparte menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini merupakan momentum baru bagi sejarah umat Islam, khususnya di Mesir yang menyebabkan bangkitnya kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping membawa pasukan yang kuat, juga membawa para ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian.[9]
Harun Nasution menggambarkan ketika Napoleon datang ke Mesir  tidak hanya membawa tentara, akan tetapi terdapat 500 orang sipil 500 orang wanita. Diantara jumlah tersebut terdapat 167 orang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan membawa 2 unit percetakan dengan huruf  Latin, Arab dan Yunani, tujuannya untuk kepentingan ilmiah yang pada akhirnya dibentuk sebuah lembaga ilmiah dinamai Institut d’Egypte terdiri dari ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi politik, dan sastera seni.  Lembaga ini boleh dikunjungi terutama oleh para ulama dengan harapan akan menambah pengetahuan tentang Mesir dan mulailah terjadi kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka.[10]
Alat percetakan  yang dibawa  Napoleon tersebut  menjadi perusahaan  percetakan Balaq,  perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang. Sedangkan peralatan modern  pada Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan kerja orang Prancis merupakan hal yang asing dan menakjubkan  bagi orang Mesir pada saat itu.
Abdurrahman al-Jabarti, ulama al-Azhar dan penulis sejarah, pada tahun 1799 berkunjung ke Institut d’Egypte; sebuah lembaga riset yang didirikan oleh Napoleon di Mesir. Ketika kembali dari kunjungan itu, al-Jabarti berkata, “saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada kita”, ungkapan al-Jabarti itu merefleksikan kemunduran Islam berhadapan dengan Barat,  dan menunjukkan aktivitas ilmiah mengalami  kemunduran umat Islam ketika itu.[11]
Di samping kemajuan teknologi yang dibawa Napoleon, ia juga membawa ide-ide baru yang dihasilkan Revolusi Prancis seperti:
a.       Sitem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang  dasar dan bisa dijatuhkan oleh Parlemen. Sementara yang belaku pada saat itu sistem pemerintahan raja absolut yang menjadi raja selama ia hidup dan digantikan oleh anaknya, serta tidak tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena keduanya tidak ada.
b.      Ide persamaan ( egaliter) dalam arti sama kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam soal pemerintahan,   cara mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dagang dari Kairo dan daerah-daerah lain.
c.       Ide kebangsaan dengan menyebutkan orang Prancis merupakan suatu bangsa (nastion) dan kaum Mamluk merupakan orang asing yang datang ke Mesir walaupun beragama Islam. Pada  saat itu yang ada hanya umat Islam dan tidak sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.[12]
Menurut Philip K. Hitti, Napoleon Bonaparte mendarat di Iskandariyah pada Juli 1798 dengan tujuan menghukum  kaum Mamluk yang dituduh dalam pidato kedatangannya dalam bahasa Arab sebagai muslim yang tidak baik, tidak seperti dirinya dan orang Prancis untuk mengembalikan kekuasaan Porte. Tujuan utamanya melancarkan serangan hebat kepada kerajaan Inggris dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah Timur, sehinga ia memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Akan tetapi penghancuran arnada Prancis di Teuluk Aboukir   ( 1 Agustus 1798 ), tertahannya ekspedisi di Akka ( 1799) serta kekalahan pertempuran Iskandariyah ( 21 Maret 1801) mengagalkan  ambisi Napoleon di Timur.[13]
Diantara keberhasilan yang telah dicapai oleh orang sipil Prancis di Mesir sebagai berikut:
a.           Membuat saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil pertaniannya berlibat ganda.
b.          Di bidang sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal dengan Rossetta Stone.
c.           Di Bidang pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahan yang kepala negaranya dipilih dalam waktu tertentu dan tunduk pada perundang-undangan. Hal ini tentu saja sulit diterima oleh para menguasa pada saat itu.[14]
Hal inilah yang membuka mata para pemikir-pemikir Islam untuk melakukan perubahan meninggalkan keterbelakangan menuju modernisasi di berbagai bidang khususnya bidang pendidikan. Upaya pembaharuan dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, kemudian diikuti oleh pemikir-pemikir lainnya.
Sementara yang sedang terjadi dan berkembang di Mesir pada saat itu antara lain dalam bidang pendidikan sangat doktrinal, metode penguasaan  ilmu menghafal di luar kepala tanpa ada pengkajian dan telaah pemahaman, membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan sedemikian rupa ke kepala  murid dan mahasiswa. Para murid dan mahasiswa tinggal menerima apa  adanya. Diskusi dan dialog menjadi barang langka dalam pengkajian keislaman. Selain itu  filsafat dan logika dianggap tabu sebagai mata kuliah di perguruan tinggi dan madrasah. Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh, ia merasa jenuh dengan cara menerima ilmu dengan metode menghafal luar kepala
Belum lagi realitas sosial keagamaan secara umum yaitu berkembangnya pengaruh paham keagamaan dalam tarikat yang membuat iklim Islam makin terorientasi kepada akhirat. Zuhud ekstrem dari metode tarikat membuat ummat Islam lebih berusaha mengurusi alam ghaib, ketimbang dunia realitas. Pelarian kepada dunia akhirat membuat umat Islam tidak mempunyai semangat perjuangan melawan dominasi kezaliman disekitarnya, termasuk kezaliman penguasa. Guru-guru tarikat akhirnya menjadi  top figur dalam kepemimpinan agama.
Setelah meninggal dunia pun kuburan para syaikh tarikat ini masih dimuliakan dan dianggap sebagai wali yang selalu diziarahi. Namun ummat Islam yang menziarahi itu tidak benar-benar menginsyaratkan kepada akhirat, tapi hanya meminta berkah dan mengais keberuntungan material terhadap makna kekeramatan yang dihajatkan mereka. Pada klimaksnya, timbullah pengkultusan individu berlebihan yang membuat seseorang akan mudah terpuruk kepada perilaku musyrik. Karena mereka lebih mengutamakan meminta kepada para wali yang ada di dalam kubur sehingga mengabaikan berdoa langsung kepada-Nya.
Kondisi sosial keagamaan juga demikian, sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad al-Bahy rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya lebih mementingkan tindakan individual. Ukhuwah Islamiyah yang menekankan kepada kebersamaan, persatuan, dinamisme hidup, rasionalitas berpikir dalam lapangan keagamaan, dan sebagainya telah hilang dikalangan umat Islam. Termasuk di kalangan Universitas Al-Azhar sendiri, yang digambarkan  oleh Muhammad Abduh sudah kehilangan roh intelektual dan jihad keagamaan yang berpijak kepada kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pembaharuan  Islam di Mesir menurut John L. Esposito dilatarbelakangi oleh  ortodoksi sunni yang mengalami proses kristalisasi setelah bergulat dengan aliran muktazilah, aliran syiah dan kelompok  khawarij yang kemudian disusul dengan sufisme yang pada tahapan selanjutnya mengalami degenerasi. Degenerasi dan dekadensi aqidah dan politik nepotisme dan absolutis yang bertentangan semangat egaliterianisme yang diajarkan Islam setelah merajalelanya bid’ah, kurafat, fabrikasi dan supertisi di kalangan umat Islam dan membuat buta terhadap ajaran-ajaran Islam yang orisinal. Maka tampilah pada abad peralihan 13 ke-14 seorang tokoh Ibnu Taimiyah yang melakukan kritik tajam sebagai reformis ( Tajdid) dengan seruannya agar umat Islam kembali kepada Al-Quran, Sunnah serta memahami kembali ijtihad.
Lebih jauh Muhamamd Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga merupakan  salah satu pendorong mandegnya kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri merasa tidak begitu tertarik mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar kepala.
Al-Azhar yang selama ini berkembang menjadi simbol kajian keilmuan, juga terjangkit penyakit kejumudan dengan hanya mengajarkan ilmu agama dan melarang segala bentuk kajian keilmuan yang berangkat dari sisi rasionalitas, sistematik dan ilmiyah. Keterbukaan dalam melakukan pemikiran keislaman dan pendidikan dengan orientasi pada sikap rasionalitas merupakan barang baru, yang sama sekali tidak berkembang di kalangan umat Islam Mesir, dan tawaran-tawaran semacam itu akan menimbulkan reaksi yang keras, yang berkembang dari mereka yang tidak mau menggunakan rasionalitas dan pembahasan sistematis terhadap ajaran Islam. Hal tersebut sangat wajar karena umat Islam telah jatuh pada sikap kehangatan sufisme dan mistisisme.
Kehadiran Napoleon ini sangat berarti bagi timbulnya pola pendidikan dan pengajaran Barat,  yang sedikit demi sedikit akan mengubah persepsi dan pola pemikiran umat Islam, dan ini sudah barang tentu akan melahirkan semangat pengkajian dan pembaharuan dalam Islam.
Maka pada tahap perkembangannya pola pembaharuan Islam Kontemporer di Mesir lebih mengarah kepada hal-hal berikut: Pertama, pembaharuan sistem berfikir artinya tata cara berfikir umat Islam yang harus meninggalkan pola pikir tradisional yang dogmatik.Kedua, upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh kesempatan melakukan aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam percaturan politik, ekonomi dan hukum di dunia, sebab selama ini, umat Islam secara aktif tidak mampu memberikan partisipasinya dalam percaturan dunia.
2. Tokoh-Tokoh Pembaharuan di Mesir dan pemikirannya
Tokoh-tokoh pembaharuan dalam Islam di Mesir antara lain: Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida dan murid serta pengikut Muhammad Abduh seperti Muhammad Farid Wajdi, Tantawi Jauhari, Qasim Amin, Sa’ad Zaghlul, Ahmad Lutfi al-Sayid, Ali Abdul Raziq dan Taha Husain.

BAB III.
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Pembaharuan dalam Islam merupakan suatu keharusan yang terjadi dalam siklus kehidupan dengan tujuan memperbaiki segala persoalan sosial keagamaan yang sangat dibutuhkan masyarakat pada saat itu sebagai akumulasi dari sebab akibat yang terjadi di masyarakat, sehingga melahirkan tokoh-tokoh pembaharuan yang mengadakan perubahan terhadap keadaan yang sedang berlangsung walaupun harus berlawanan dengan faham dan pemikiran yang ada.
Karakteristik pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir ada  keragaman yang menjadi  acuan serta latar belakang tokohnya. Pembaharuan di Mesir lebih banyak berangkat dan digerakan pembaharuan pemikiran akademis baik itu dari lulusan Al-Azhar sebagai tempat khazanah ilmu atau perguruan tinggi lainnya. Begitu pula latar belakang kehidupan dan pengalaman seorang tokoh pembaharu akan mewarnai gerakan pembaharuan yang dilakukannya, seperti adanya perbedaan gerakan pembaharuan  Jamaludin al-Afghani dengan Muhammad Abduh. . Di Mesir tokoh pembaharuan berhadapan dengan keadaan pola pendidikan, politik dan sosial keagamaan masyarakat yang sedang mengalami penjajahan dari bangsa Barat,
Tujuan akhir dari pembaharuan yang dilakukan oleh tokoh pembaharuan bagaimana Islam dapat menjawab segala persoalan yang terjadi di masyarakat dan tetap sesuai di segala zaman, serta ajaran Islam memberikan kontribusi yang positif dalam setiap perkembangan zaman. Wallahu a’lam bi showab.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Hamid, Editor), Pemikiran Modern Dalam Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2010
Abidin Ahmad, H. Zainal, Sejarah Islam dan Ummatnya, Bulan Bintang, Jakarta , 1979,
Arnold Toynbee, Mankind and Mother Earth ( terjemah. Sejarah Umat Manusia), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007
Azyumardi Azra, Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, dalam Pengantar DR. Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Paramadina, Jakarta, 2003.
Barmawi, Ahmad.,  118 Tokoh Muslim Genius Dunia, Jakarta, Restu Agung, 2006.
Supriyadi, Dedi., Perbandingan Fiqh  Siyasah: Konsep Aliran dan tokoh-tokoh politik Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2007.
Tohir Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta, Raja Grapindo Persada,.Islam, Jakarta, Rajawali Pers.,2009
Tohir Ajid., Studi Kawasan Dunia
Thohir, Ajid.. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2004


[1] Prof. Dr. H. Abubakar Atjeh, Muhyi Atsaris Salaf, h. 21
[2] Lihat Harun Nasution, dalam buku Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan Gerakan,h.5-6, yang membagi sejarah Islam kedalam tiga periode besar: Klasik, pertengan dan modern
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: hal. 109
[4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan Gerakan,h.  3.
[5]
[6] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan Gerakan,  h. 6

[7] M. Riza Sihbudi dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, (Bandung, PT. Eresco,1993).h. 81-82.)
[8] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan , h. 28-33
[9] Prof. Dr. Jaih Mubarok,M.Ag, Sejarah Perdaban Islam,Pustaka Islamika, 2008 cet-1.h.227
[10] Ibid . h.23
[11] Ibid
[12] Ibid. h. 24-25
[13]Philip K. Hitti, History of The Arabic , ( Terjemahan R. Cecep Lukman), Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, h. 924
[14]Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada. 1998, hal. 65-66.

No comments: